Peta rekaan kedatangan pasukan Dinasti Yuan ke Jawa tahun 1215 Saka (Sumber : Munib, 2011: 246) |
- LATAR BELAKANG
Majapahit
merupakan salah satu kerajaan besar yang ada di Indonesia , dan di Jawa Timur khususnya.
Lokasi ibu kota
kerajaannya dalam kitab Pararaton di sebutkan berada di daerah Trik. Namun dari penemuan arkeologis
ditemukan kompleks situs yang diduga besar sebagai keraton Majapahit, berada di
daerah Trowulan, Kabupaten Mojokerto sekarang.
Adanya daerah yang memiliki
kemiripan nama dengan Trik, lokasi ibukota awal masa
pendirian Majapahit, yaitu Kecamatan Tarik, yang terletak di Kabupaten Sidoarjo,
membuat penulis tergerak untuk mencari kebenaran tentang adanya Keraton
Majapahit disana. Ada
banyak hal yang menghubungkan sejarah daerah Kecamatan Tarik dan sekitarnya
dengan daerah Trowulan masa lalu. Selain itu sejarah panjang sejak masa
pemerintahan Mataram Hindu sampai pasca peristiwa runtuhnya Kerajaan
Singhasari, telah meninggalkan jejak-jejak sejarah mengukir perkembangan
Kerajaan Majapahit. Oleh karena itu
penulis memberikan judul makalah ini adalah “LOKASI AWAL PUSAT IBUKOTA KERAJAAN MAJAPAHIT“
- AKAR PENDIRIAN KERAJAAN MAJAPAHIT
Dalam kitab Pararaton dan
Negarakretagama diceritakan mengenai keruntuhan Kerajaan Singhasari pada masa
Raja Kertanegara karena serangan Raja Jayakatwang dari Daha/Kadiri. Hal ini dikritisi
oleh Prof. Dr. Slamet Muljana karena dalam lempeng VII a baris 3-6 prasasti
Mula-Malurung (1177 C/1255 M) yang di keluarkan pada masa Raja Sminingrat (Wisnuwardhana)
disebutkan:
3.
…... sira nararyya murddhaja. atmaja nira muwang.. sira sri krtanagara nama niran inabhiseka.
pi-
4.
nasahaken ing
ngkaneng mwang ikanakasihhasana. ring
nagara daha. sinewita ning bhumi
kadiri. sira turuk bali. putri
5.
nira nararyya smi ning
rat. pinaka paramecwari nira sri
jayakatyeng. saksat kapwanakanira nararyya smi ningrat
6. sira pinratista ngkaneng mwang I kanakasinghasana. maka nagare glang glang, sinewita dai nikang sakala bhumi wurawan
Menurut Prof. Dr. Slamet Muljana dalam bukunya yang
berjudul Tafsir Sejarah Negara Kretagama
halaman 116-117 disebutkan:
Versi Negarakretagama
dan Pararaton yang mengatakan bahwa Jayakatwang adalah raja Kediri perlu
dibetulkan karena menurut prasasti Mula-Malurung, Jayakatwang adalah raja Gelang-Gelang berkat perkawinanya
dengan Nararya Turukbali, puteri Sang Prabu Seminingrat. Yang menjadi raja
Kediri sejak tahun 1254 sampai 1292
ialah raja Kertanegara. Jadi, serangan Jayakatwang terhadap Singasari pada
tahun 1292 dilancarkan dari Gelang-Gelang; bukan
dari Kediri seperti diuraikan dalam pararaton
dan Negarakretagama serta beberapa kidung. Prasasti Mula-Malurung
mengatakan dengan jelas bahwa Jayakatwang adalah kemenakan Raja Seminingrat,
jadi saudara sepupu dengan Kertanegara, menurut Prasasti Penanggungan, 1296, Jayakatwang menduduki ibu kota Daha
dan memerintah Singasari sebagai Negara bawahan. Kidung Harsawijaya berulang kali menyebut Jayakatwang Raja Kediri,
sehingga utusan Bupati Wiraraja dari Sumenep datang ke Kediri untuk memberi
tahu sang prabu supaya serangan terhadap
Singasari segera dilancarkan, kesempatan yang baik jangan dibiarkan
lewat. Mahisa Mundarang memberikan nasihat yang serupa dan menyebut Jayakatwang
keturunan Raja Kertajaya. Berdasarkan Prasasti Mula-Malurung, utusan Wiraraja
itu dikirim ke Gelang-Gelang, tidak ke Kediri. Kidung Harsawijaya mengatakan bahwa Sri Kertanegara tidak khawatir tentang akan adanya
kemungkinan serangan dari Kediri, karena ia percaya bahwa Raja Jayakatwang
tidak akan menyalah-gunakan kebaikan
sang prabu, yang telah sudi mengangkatnya
sebagai raja Kediri. Uraian di atas tidak
tepat, karena yang mengangkat Jayakatwang sebagai raja ialah Nararya Seminingrat menurut prasasti
Mula-Malurun g, bukan Raja Kertanegara.
Lagi pula, Jayakatwang tidak diangkat sebagai raja Kediri, melainkan sebagai
raja Gelang-Gelang. Seperti ditunjukkan di atas, baru pada tahun 1292,
Jayakatwang menjadi raja Kediri.
Dari uraian di atas
sekilas alasan yang dikemukakan Prof. Dr. Slamet Muljana sangatlah kuat karena
berlandaskan sumber data utama yaitu Prasasti Mula-Malurung yang berangka tahun
1177 C/1255 M, masa Raja
Seminingrat, Maharaja Singhasari dan Prasasti Penanggungan berangka tahun 1218 C/1296
M pada masa Raja Sangramawijaya, raja pertama Majapahit. Namun bila dianalisa
lebih lanjut ada beberapa hal dalam peryataan di atas yang janggal.
Prof. Dr. Slamet Muljana
menolak angka tahun 1193 C/1271M
sebagai tahun bertahtanya Jayakatwang sebagai raja di Kadiri, padahal informasi
tersebut diberitakan dalam Negarakretagama pupuh 44/2 karya Prapanca seorang
penulis keraton. Beliau yakin bahwa Jayakatwang sebelum runtuhnya kerajaan
Singhasari tidak pernah menjadi raja di Kadiri, karena dalam Prasasti
Mula-Malurung disebutkan bahwa yang bertahta di Daha wilayah bumi Kadiri adalah
Nararya Murdhaja atau Kertanegara sebagai Yuwaraja (Putra Mahkota/Raja Muda),
sedangkan Jayakatwang sebagai raja bawahan di Gelang-Gelang wilayah Wurawan (Ngurawan).
Menurutnya Kertanegara bertahta di Kadiri dari
tahun 1254 M/1176 C sampai 1292 M/1214
C.
Perlu diingat Prasasti Mula-malurung berangka tahun 1177 C/1255 M dan raja yang berkuasa
adalah Raja Sminingrat ayah dari Kertanegara. Sedangkan Kertanegara juga
sebagai raja namun masih sebagai Yuwaraja.
Hal ini sesuai pemberitaan dalam Negarakretagama Pupuh 41/3 bahwa pada
tahun 1176 C/1254 M Raja Wisnu (Sminingrat)
menobatkan putranya (Nararya Murdhaja, sebagai Yuwaraja bertahta di Daha/Kediri)
dan nama abishekanya adalah Raja Kertanegara. Jadi, pengeluaran Prasasti
Mula-Malurung berjarak kurang lebihnya satu
tahun setelah Kertanegara dinobatkan sebagai Yuwaraja yang bertahta di Daha
bumi Kadiri. Kemudian pada bait ke-4 diberitakan pada tahun 1192 C/1270 M raja Wisnu berpulang
(meninggal dunia). Nah! Dari sinilah muncul pertanyaan, jika menurut Prof. Dr.
Slamet Muljana antara tahun 1176 C/1254 M sampai 1214 C/1292 M Kertanegara
masih menjadi Raja di Kadiri, lalu siapakah pengganti Raja Sminingrat yang
telah meninggal pada tahun 1192 C/1270 M
dan bertahta di Singhasari yang menguasai seluruh wilayah Panjalu-Jenggala? Kalau
kurun waktu kekuasaan Kertanegara di Kadiri benar seperti itu berarti Keraton
Singhasari harus dilokasikan di daerah Kediri sekarang, karena pada tahun 1292 M Jayakatwang menyerang
Kertanegara di dalam ibukota kerajaannya dari dua arah, sampai akhirnya runtuh?.
Penafsiran bahwa Kertanegara bertahta di Kadiri sampai
tahun 1214C/1292 M, seperti di atas tidak perlu terjadi bila analisanya sebagai
berikut:
1.
Pada
tahun 1176 C/1254 M Raja Wisnu (Sminingrat)
menobatkan Putranya sebagai Raja bergelar Sri Kertanegara. Pada waktu ini
Kertanegara tidaklah dinobatkan sebagai raja Utama dalam kerajaan Singhasari,
melainkan hanya sebagai Yuwaraja yang bertahta di Daha bumi Kadiri, sebagai
persiapan untuk menjadi raja utama. Hal ini dapat digali dari Sumber sejarah
Kitab Negarakertagama pupuh 41/3 dan dalam prasasti Mula-malurung lempeng VII a
baris 3-6 tentang penempatan Kertanegara di Kadiri.
2. Pada
tahun 1177 C/1255 M Seluruh
raja-raja yang diangkat oleh Sminingrat dan dikepalai oleh Sri Kertanegara
mengeluarkan Prasasti Mula-Malurung. Dari sumber sejarah primer ini kita dapati
informasi tentang kedudukan Kertanegara sebagai Raja di Kadiri sedang
Jayakatwang bertahta di Gelang-gelang daerah Wurawan. Semua raja di jawa
terutama di eks-Panjalu-Jenggala, tunduk kepada raja yang berkuasa pada waktu
itu, yaitu Raja Sminingrat.
3.
Pada
tahun 1192 C/1270 M Raja Seminingrat
meninggal, sebagai putra mahkota maka Sri Kertanegara harus meletakkan
jabatannya di Kadiri dan naik ke singgasana utama yaitu menjadi Raja Utama
kerajaan Singhasari di ibu kota Singhasari (daerah Malang sekarang) menggantikan
ayahnya Prabu Sminingrat. Bila Kertanegara bertahta di Singhasari otomatis
tahta di Kediri Kosong, maka perlu dilimpahkan kepada salah satu orang dekat
raja. Siapakah dia? apabila dikorelasikan dengan berita dalam Negarakertagama
pupuh 44/2 yang menyatakan bahwa tahun 1193
C/1271M (satu tahun setelah mangkatnya Raja Sminingrat) Raja Jayakatwang
menjadi Raja di Kediri, maka jelaslah bahwa orang tersebut adalah raja
Jayakatwang. Jadi Jayakatwang adalah raja bawahan Singhasari di Gelang-Gelang (sesuai
prasasti Mula-Malurung 1177C/1255 M) namun pada tahun 1193C/1271 M oleh Sri
Kertanegara dibantu untuk menjadi raja di Kadiri, tanah leluhur Jayakatwang,
daerah istimewa nomer dua setelah ibu kota Singhasari.
4.
Mengenai
Prasasti Kudadu 1216 C/1294 M yang menyebutkan bahwa Jayakatwang yang telah
menyerang Singhasari adalah raja dari Gelang-Gelang tanpa menyinggung daerah
Kediri ini tidaklah perlu diambil pusing. Bila kita analisa cerita-cerita panji
dan beberapa Kakawin, maka peristiwa pembelahan kerajaan pada masa Airlangga
tidaklah hanya menjadi dua bagian, namun lebih dari itu. Dalam cerita panji ada
empat negeri utama yaitu Panjalu (Kadiri), Jenggala, Kahuripan, dan Ngurawan. Dari empat kerajaan utama tersebut
terjadi koalisi yaitu Panjalu (Kadiri)
dengan Ngurawan dan Jenggala dengan Kahuripan. Penyebutan Jayakatwang
sebagai raja Gelang-Gelang merupakan bukti bahwa setelah dinobatkan sebagai
Raja di Kadiri oleh Sri Kertanegara beliau tetap menguasai kerajaan
Gelang-Gelang di negeri Ngurawan. Bahkan dalam Prasasti Penanggungan 1218 C/1296
M disebutkan bahwa Jayakatwang telah menduduki ibukota Daha dan memerintah Singhasari
sebagai negeri bawahan setelah penyerangan ke Singhasari tahun 1292 M.
5.
Mengenai
Kidung Harsawijaya yang mengatakan
bahwa Sri Kertanegara tidak khawatir tentang akan adanya kemungkinan serangan
dari Kediri, karena ia percaya bahwa Raja Jayakatwang tidak akan
menyalah-gunakan kebaikan sang prabu,
yang telah sudi mengangkatnya sebagai
raja Kediri. Uraian tersebut janganlah dilihat sebagai kesalahan, namun
seharusnya Prof. Dr. Slamet Muljana melihatnya sebagai penguat bahwa
Jayakatwang yang leluhurnya penguasa Kediri diberikan kepercayaan besar oleh
Maharaja Kertanegara memerintah di tanah leluhurnya di bumi Kadiri (eks-Panjalu).
Raja Sminingrat memang mengangkat Jayakatwang sebagai raja, tapi itu di negeri
Wurawan yang beribu kota di Gelang-Gelang, bukan di Kadiri yang beribu kota di
Dahanapura sebagai tanah suci para leluhur. Setelah diberi kehormatan bertahta
di tanah leluhurnya di Kadiri, membuat Jayakatwang berhutang besar kepada raja
Kertanegara, oleh karena itu Sri Kertanegara tidak menaruh curiga terhadap raja
Jayakatwang akan pemberontakan yang dilakukan iparnya tersebut, apalagi Ardharaja
anak Jayakatwang dijadikan menantu Sri Kertanegara.
Hal yang menjadi pertanyaan besar sekarang adalah mengapa
Sri Kertanegara mempercayakan tahta nomer dua kepada Jayakatwang? Apakah ada
hubungannya dengan Ardharaja sebagai menantu sekaligus calon pengganti Raja
Kertanegara? Kalau Ardharaja disiapkan untuk menjadi pengganti Sri Kertanegara,
untuk apa Jayakatwang menyerang Singhasari? toh pasti menjadi hak Ardharaja
sebagai wakil istrinya menjabat sebagai Raja. Lalu bagaimana posisi Raden
Wijaya sebagai keturunan Narasinghamurti yang sangat berjasa dan dekat dengan
Raja Sminingrat? Bahkan kalau dirunut Raden Wijaya juga punya hak yang lebih
besar sebagai Mantu raja dibanding Ardharaja? hal-hal tersebut masih perlu
diselidiki.
Perlu diketahui bahwa sejak Raja pertama Tumapel yaitu
Sri Ranggah Rajasa berkuasa, Kadiri dijadikan ibu kota kerajaan kedua, dengan
diberikan kepada putra mahkotanaya, yaitu Bhathara Paramecwara (dalam prasasti
Mula-Malurung) yang disamakan dengan tokoh Mahisa Wongateleng dalam Pararaton
sebagai anak Sri Ranggah Rajasa tertua (hasil analisa Prof. Dr. Slamet Muljana).
Ternyata kebiasaan ini berlaku sampai Raja Sminingrat yang meletakkan Putra
mahkotanya, yaitu Sri Kertanegara sebelum menjadi Maharaja di
Tumapel (Singhasari) bertahta dahulu di Daha bumi Kadiri. Hal ini ternyata
menimbulkan polemik baru tentang teori dua keraton yang saling bersaing dari
berita yang tersirat dalam prasasti Mula-Malurung (meneruskan tradisi Panjalu
dan Jenggala) dan satu keraton yang penuh intrik perebutan kekuasaan dalam
Pararaton, juga Negarakretagama.
Baiklah saatnya kembali ke pembahasan utama yaitu Akar
pendirian Kerajaan Majapahit oleh Raden Wijaya. Setelah Singhasari diruntuhkan
Raja Jayakatwang maka Raden Wijaya yang lolos dari penyerangan ke puri Singhasari
mencari perlindungan ke Madura yaitu adipati Wiraraja di Sumenep, hal ini
sesuai dengan berita dalam Kidung Panji Wijayakrama, kitab Pararaton dan Sumber
primer Prasasti Kudadu yang di keluarkan oleh Sangrama Wijaya berangka tahun
1216 C/1294 M mengenai proses pelariannya menuju Sumenep.
Wiraraja bukanlah tokoh asing lagi, pada masa Singhasari
dia adalah tokoh yang dalam Pararaton berhasil menghasut Jayakatwang untuk
segera menyerang Singhasari. Dalam dunia Politik dia ahli dalam bidang strategi.
Hal ini terbukti dengan usulan agar Raden Wijaya berpura pura Menghamba kepada
Raja Jayakatwang. Setelah mendapat kepercayaan, Wiraraja menyuruh agar Raden
Wijaya meminta hutan orang Trik. Kemudian Wiraraja mengirim orang-orang Madura
dan raden Wijaya mengerahkan orang Tumapel untuk membuka hutan tersebut untuk
dijadikan desa. Saat pembukaan hutan ada salah satu prajurit yang lapar lalu
memakan buah Maja namun terasa pahit sekali. Dari kejadian tersebut
dinamakanlah desa tersebut Maja-Pahit.
- LOKASI AWAL IBU KOTA KERAJAAN MAJAPAHIT
Sesuai sumber Kitab Pararaton dan Kidung Panji
Wijayakrama, lokasi daerah yang diminta Raden Wijaya adalah hutan belantara
yang masuk wilayah orang Trik. Persoalannya dimanakah lokasi Trik ini? Sampai
sekarang daerah yang memiliki bukti-bukti besar bekas keraton agung Majapahit
adalah Trowulan, daerah yang terletak di ujung Selatan Kab. Mojokerto. Namun
apakah hutan Trik yang dibuka menjadi Desa Majapahit oleh raden Wijaya adalah
di Trowulan ini? Baiklah mari kita analisa bersama-sama dengan melihat
sumber-sumber sejarah yang ada dan
Fakta-fakta yang berada di Lapangan.
1.
Majapahit
didirikan di atas Tanah yang dahulunya adalah Hutan belantara milik orang Trik,
berarti di daerah yang minimal agak jauh dengan pemukiman penduduk kampung.
Lalu bagaimanakah Trowulan? Bila syaratnya adalah tanah hutan yang agak jauh
dari pemukiman penduduk pada masa itu, jelas di daerah Trowulan tidak cocok
bila memposisikan Majapahit awal di sana. Hal ini berdasarkan di daerah sekitar
penemuan situs bekas Keraton di Trowulan adalah bekas pemukiman Kuno. Bukti
tentang hal tersebut sangatlah jelas yaitu ditemukannya “Prasasti Alasanta” yang
dikeluarkan oleh Raja Mpu Sindok pada tahun 861 C/939 M. Prasasti tersebut
memberikan informasi tentang pemberian tanah sima Alasanta kepada Rakryan
Kabayan, dan dihadiri oleh para rama dari desa desa sekitar sebagai saksi pada
peresmiannya. Dari nama-nama desa yang tertera pada isi prasasti tidak ada yang
menyebutkan daerah Trik. Kemudian Prasasti Kamban yang di keluarkan oleh Sri
Maharaja Rake Hino Sri Isanawikrama Dyah Matanggadewa pada tahun 893 C,
ditemukan di Dukuh Pelem, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupatan Mojokerta.
Prasasti Alasanta ditemukan sekitar 45 m barat daya Candi Brahu di wilayah
desa Bejijong, sebelah utara desa Trowulan. Pada lempengan III.9-12 prasasti ini
disebutkan para rama dari desa-desa di sekitar Alasanta yang hadir sebagai
saksi pada peresmiannya menjadi sima.
Berturut-turut disebutkan: rama ryy
alasantan, rama ri lmah tulis, rama i skarbila, rama i lbuh runting, rama i
Padanga, rama i tirim panda, rama ing lapan rupa dan rama i wulu taj (Wibowo,
A.S.1979: 15). Penyebutan desa Lmah tulis setelah desa Alasanta itu
mengindikasikan daerah tersebut saling berdekatan, faktanya Desa Kedungwulan
yang (dahulu bernama Lmah tulis) terletak di desa Bejijong, tempat penemuan
Prasasti Alasanta. Kemudian nama wanua i Tangunan (III.3) masih bisa kita
temukan di sebelah tenggara trowulan sekarang. Nama wahuta i pageruyung
(III.8-9) sekarang ada di desa pagerluyung sebelah utara trowulan. Nama rama i
padangan masih terdapat pada desa padangan sebelah timur laut Trowulan. Dari
data-data di atas jelaslah bahwa daerah Trowulan pada masa awal Majapahit
adalah daerah yang cukup ramai di kelilingi pemukiman penduduk sejak masa Mpu
Sendok sampai sekarang. Jadi identifikasi Trik di sekitar Trowulan kurang
tepat, apalagi tidak adanya informasi tentang istilah Trik dalam prasasti
Alasanta.
Trowulan yang dahulu masuk daerah Alasanta dan juga daerah lmah tulis
pastinya ramai dikunjungi para tokoh-tokoh dari Daha. Apalagi daerah lmah tulis
(lmah Citra) bila dihubungkan dengan Tokoh Mpu Barada yang beragama Budha
tentulah daerah ini sangat terkenal atas jasa-jasa sang Mpu yang dahulu pernah
membelah Kerajaan raja Airlangga menjadi Panjalu dan Jenggala. Candi Brahu, dan
Candi Gentong di daerah Bejijong yang bercorak agama Budha, menimbulkan
penafsiran bahwa daerah tersebut sejak masa Airlangga sampai Majapahit
merupakan daerah ke Budhaan, maka pantaslah pertapa Baradha tinggal di sana.
2.
Sekilas
Trowulan secara geografis cukup menguntungkan bila dijadikan pusat ibu kota kerajaan
Majapahit yang menguasai Negara-negara di lima penjuru mata angin. Lokasinya
yang di tengah-tengah jawa bagian timur menjadikannya lebih mudah untuk
mengontrol Negara-negara bawahan utamanya, seperti Daha, Tumapel,
Canggu-Ujunggaluh, Madura dan Tuban. Sebagai tempat pertahanan dari serangan
luar jawa memang pantas karena sebelum menuju ibu kota di Trowulan musuh dari
luar pasti mendarat di kota-kota pelabuhan yang telah dikuasainya. Selanjutnya
menuju benteng-benteng pertahanan yang berlapis di daerah-daerah panca ring Wilwatikta sebelum akhirnya kepusat
keraton Majapahit di Trowulan.
Namun bila
Wiraraja seorang yang ahli dalam strategi politik dan perang, maka penempatan
Ibu kota kerajaan pada awal
pendiriaanya di Trowulan tidak begitu menguntungkan. Selain dekat dengan musuh
utamanya di Kadiri daerah Trowulan juga cukup jauh dengan kota pelabuhan yang
dapat menghubungkan dengan daerah sekutunya di Madura. Kecuali daerah Canggu,
Terung, dan Kambang sri dikuasai terlebih dahulu oleh Raden Wijaya, namun
sesuai informasi dari Prasasti Kudadu daerah-daerah tersebut telah di kuasai
prajurit Daha saat pelariannya ke Madura. Hal ini menjadikan Trowulan sangat
rawan bila dijadikan basis pertahanan untuk pemberontakan terhadap Jayakatwang
di Kadiri. Selain itu jalur Kadiri-Penanggungan melewati Trowulan, dimana pusat
sakral, terutama dinasti Isana ada di gunung leluhur raja-raja Panjalu-Jenggala
tersebut. Bila Jayakatwang meruntuhkan Singhasari karena salah satu sebabnya
ingin balas dendam ataupun bercita-cita luhur mengembalikan kehormatan keluarga
raja-raja Kadiri (Panjalu) yang berakar dari dinasti Isana, maka jelas daerah seperti
Daha dan Penanggungan adalah daerah Sakral leluhur Jayakatwang yang tidak luput
dari pengawasan pasukannya.
Kalau Trowulan bukan Trik, lalu dimana sesungguhnya Trik
berada? Bila kita buka peta Kab. Sidoarjo sekarang maka pada ujung Baratnya
terdapat Kecamatan Tarik. Kecamatan ini berada antara perpecahan Sungai Mas
yang menuju Canggu lalu Ujunggaluh dan Sungai Porong. Toponimi nama Trik
sekarang menjadi Tarik. Namun cukup sulit untuk menemukan Lokasi ibukota
kerajaan Majapahit.
Tulisan Ingrit H.E Pojoh yang berjudul Medowo Sebagai Kota Majapahi, dalam
Berkala Arkeologi Edisi Khusus halaman 216-217 (1994) dapat menguak misteri
tersebut, disebutkan bahwa:
Medowo adalah nama sebuah dukuh yang
terletak di delta sungai Brantas, kurang lebih 5 kilometer sebelah timur
percabangan sungai Brantas menjadi Sungai Mas(Surabaya) dan sungai Porong.
Mayoritas wilayah dukuh ini secara administratif termasuk dalam wilayah desa
Gampingrowo, Kecamatan Tarik, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur
Penelitian di Medowo dilakukan Balai Arkeologi Yogyakarta pada tahun 1986
memperlihatkan bahwa pada permukaan tanah banyak ditemukan indikator desa
sekaligus merupakan situs arkeologi. Tinggalan arkeologis tersebut antara lain
tembikar, keramik, bata, genteng, sumur kuno, lumpang batu, dan batu calon prasasti
(Kusumohartono 1990:48). Secara sederhana, situs ini memperlihatkan ciri situs
permukiman dari periode Hindu-Buda. Pengujian lebih lanjut atas hasil penelitian pada situs Medowo yang luasnya
sekitar 400 meter ini menunjukkan bahwa (1) tembikar dari situs Medowo
memperlihatkan ciri Majapahit seperti halnya tembikar Trowulan; (2) keramik-keramik Cina berasal dari masa yang
berasal antara abad ke-13 hingga 14 Masehi; dan (3) anaisis karbon
(C14) menunjukkan masa antara 1202-1440 M (Siswanto dkk., 1992). Selain itu, temuan
penggalian berupa struktur bata juga memperlihatkan kesamaan ukuran bata, pola
ikat bata, dan kemiringan orientasi dengan struktur bata yang dijumpai di
situs Trowulan.
Dengan demikian, dapatlah situs Medowo ini di tempatkan
pada masa yang sama dengan Majapahit. Dengan melihat persamaan artefak dan
fitumya, maka sangatlah jelas bahwa baik Medowo maupun Trowulan adalah bekas
sebuah permukiman kuno. Persoalan baru muncul apabila dipertanyakan apakah ada
hubungan antara Medowo dengan Trowulan? Tentu saja ada, Medowo adalah pemukiman
kuno yang memiliki struktur hampir sama dengan situs di trowulan. Bedanya situs
Medowo di wilayah Trik sedang Trowulan jauh di pedalaman di daerah Alasanta dan
Lmah Tulis. Jadi bila dikorelasikan dengan sumber sejarah Pararaton dan Kidung
Panji Wijayakrama maka penulis lebih condong melokasikan ibukota Kerajaan
Majapahit yang di bangun Raden Wijaya ada di daerah yang sekarang berada di
Desa Gampingrowo Kec. Tarik Kab. Sidoarjo tersebut. Ada beberapa alasan identifikasi daerah Tarik sebagai Trik ibu kota Majapahit awal:
- Toponimi nama Tarik dengan Trik, dari istilah tersebut jelas memiliki kemiripan, hanya
saja istilah sekarang ditambahi sisipan vokal ”a” menjadi”Tarik” .
Jadi nama desa dan Kecamatan Tarik
adalah nama daerah yang dahulu di sebut Trik.
- Lokasi desa Gampingrowo dengan
desa Tarik sekarang berjarak sekitar 4 km. Sekitar 6 km ke timur laut
terdapat Waringin pitu (lokasi bendungan Waringin Sapta masa Airlangga),
sekitar 7,5 km kearah timur lokasi dukuh Kelagen desa Watutulis tempat
penemuan prasasti Kamalagyan (Masa Airlangga) dan bila 4 km ke arah utara
terdapat desa Canggu di seberang sungai Brantas, sekarang masuk kecamatan Jetis,
Kab. Mojokerto. Hal ini berbeda
dengan situs Trowulan di mana jarak situs Keraton Majapahit dengan situs
masa sebelumnya sangat dekat bahkan satu lokasi.
- Kembali pada tokoh Wiraraja
sebagai ahli strategi. Dilihat dari letak Geografisnya jelas sekali desa
Gampingrowo sangatlah strategis sebagai tempat konsolidasi. Selain dahulu
hutan belantara, namun tidak jauh pula dengan urat nadi perekonomian
kerajaan-kerajaan pedalaman terdahulunya, seperti Singhasari,
Panjalu-Jenggala dan Dinasti Isana, yaitu dekat dengan Pelabuhan Canggu,
bendungan Waringin Sapta dan Muara sungai Brantas Ujunggaluh-Rembang juga
Sungai Porong. Selain jauh dari pusat ibukota Dahanapura, dan tersembunyi
di sekitar hutan orang Trik, dengan leluasa pasukan baru Majapahit mengembangkan
kekuatannya yang berasal dari Madura dan Tumapel. Terlebih dahulu mereka
bisa menguasai daerah sekitar Trik seperti Ujunggaluh, Canggu dan semua
delta Brantas, maka hal ini akan melumpuhkan sendi perekonomian kerajaan
Jayakatwang di Daha. Dari sinilah kita dapat melihat kecemerlangan
strategi tokoh Wiraraja, khususnya dalam melumpuhkan kerajaan Jayakatwang
di Daha.
- Sebagian pasukan Singhasari yang mengadakan
ekspedisi Pamalayu belumlah pulang. Jadi lokasi di Tarik lebih tepat
karena bila pasukan dari Melayu kembali mereka bisa langsung bergabung di
Trik. Hal yang paling menguntungkan adalah saat bala tentara dari dinasti
Yuan datang, oleh pihak raden Wijaya di jadikan sekutu, dan kemudian
mereka menghancurkan kekuatan Jayakatwang.
- Pelabuhan Canggu berada di
sebelah utara daerah Trik, hal ini sangat menguntungkan, karena pendiri
pelabuhan dan sekaligus benteng Canggu adalah Raja Sminingrat atau
Wisnuwardhana ayah dari raja Kertanegara raja besar Singhasari. Walau
bagaimanapun pejabat-pejabat benteng sekaligus pelabuhan Canggu memiliki
hutang budi terhadap keturunan dan keluarga Raja Wisnuwardhana. Dalam
Prasarsti Kudadu pun dijelaskan pada waktu Raden Wijaya dalam pelarian
dari kejaran pasukan Jayakatwang, beliau berniat mencari suaka ke desa
Terung dan sekitarnya. Hal ini dikarenakan akuwu Rakriyan Wuru Agraja,
yang diangkat sebagai akuwu oleh mendiang Sri Kertanegara, dengan harapan
memperoleh bantuan darinya untuk mengerahkan penduduk daerah timur dan
timur laut Terung (Muljana, 2007:120-121) Dari sini kita ketahui bahwa di
daerah delta Brantas masih banyak kepala-kepala daerah yang memiliki
hutang budi dengan keluarga Singhasari. Hal ini pula yang menjadi alasan
penempatan ibukota di Trik yang berada di antara percabangan sungai
Brantas (S. Mas dan S. Porong).
- Pelokasian beberapa tokoh
sejarawan bahwa Trowulan dahulu termasuk wilayah Trik kurang dapat
diterima. Hal ini berlandaskan antara Trowulan dengan Trik selain cukup
jauh juga tanahnya terbelah oleh Sungai besar Brantas. Kebiasan orang
dahulu, batas suatu daerah adalah alam, seperti hutan, bukit dan Sungai.
Bila Trowulan wilayah Trik maka di manakah nama daerah Alasanta dan Lmah
tulis berada? Bila nama daerah sekaliber Alasanta dan Lmah Tulis tidak dikenal,
maka sebesar apakah daerah Trik dalam pengukiran sejarah kerajaan-kerajaan
sebelum Majapahit? Apakah desa Alasanta tempat prasasti Mpu Sindok dan
Lmah Tulis tempat Mpu Barada termasuk wilayah Trik? Hal ini kurang dapat
diterima, karena daerah situs trowulan dahulu lebih terkenal nama-nama
desa yang tertera dalam prasasti Alasanta dan Negara Kretagama, tanpa
adanya nama Trik.
Dari beberapa alasan tersebut maka
Situs Medowo, desa Gampingrowo, kec Tarik kab. Sidoarjo, dapat
diidentifikasi sebagai bukti bekas
lokasi ibu kota kerajaan Majapahit yang didirikan oleh raden Wijaya antara
tahun 1214-1215 C/1292-1293 M. Kalau ibukota kerajaan di Tarik lalu situs apakah
yang ada di Trowulan?
- PERPINDAHAN IBU KOTA MAJAPAHIT
Sesuai dari data rekonstruksi para
ahli arkeologi yang disesuaikan dengan kitab Negarakretagama maka situs
Trowulan, Mojokerto adalah bekas Keraton Majapahit. Hal ini jangan diruetkan, karena
ibu kota kerajaan Majapahit sama dengan yang lain pernah mengalami perpindahan
ibukota kerajaan. Contoh konkrit perpindahan kerajaan masa Hindu-Budha adalah
kerajaan Mataram masa Mpu Sindok dalam prasasti Turyan (851 C/929 M) disebutkan
ibu kota kerajaan di Tamwlang namun
dalam prasasti lain seperti Prasasti Anjukladang(859 C/937 M) ibu kota kerajaan
berpindah di Watu Galuh; lalu pada
masa Panjalu/Kadiri yang awalnya di Dahanapura, tiba-tiba dalam prasasti
Kamulan (1116 C/1194 M) masa Raja Kretajaya berada di Katang-Katang; dan Masa
Kerajaan Tumapel-Singhasari ibukota Kutaraja (Kota Bedah, Kota Malang) di
pindah ke Singhasari (daerah kec. Singosari, Kab. Malang). Jadi Kerajaan
Majapahit yang awalnya beribukota di daerah Trik di pindahkan ke daerah
Trowulan sekarang. Namun muncul lagi pertanyaan, sejak kapan ibu kota kerajaan
dipindah ke Trowulan?
Ada beberapa alasan untuk
memindahkan kerajaan salah satunya yang paling sering dijumpai adalah Konsep
kepercayaan bila sebuah keraton telah ternoda maka harus dipindah untuk
mensucikannya. Contoh perpindahan ibukota kerajaan Tumapel-Singhasari, yang
awalnya beribukota di Kutaraja dipindah ke daerah Singosari. Pemindahan ini
berlangsung pada tahun 1176 C/1254 M (Negarakretagama 41/3) atau enam (6) tahun
setelah mangkatnya Raja Anusapati yaitu pada tahun 1170 C/1248 M (Negarakretagama
41/1), dan empat (4) tahun setelah penyerangan terhadap Tohjaya pada tahun 1172
C/1250 M sesuai Pararaton. Jadi penggantian nama
dari Kutaraja menjadi Singhasari dikarenakan ke tidak seimbangan kosmis akibat
penodaan keraton dari pada peperangan antara keluarga Anusapati-Wisnuwardhana
Cs Vs Tohjaya.
Bila Tohjaya yang dalam Prasasti
Mula-Malurung menjadi raja menggantikan adiknya, Raja Guning Bhaya, maka
pristiwa pembunuhan Anusapati oleh Tohjaya tahun 1170 C/1248 M (dalam Pararaton)
sangatlah kompleks. Hal ini disebabkan kedudukan antara Anusapati dan Tohjaya
adalah sama-sama seorang Raja. Bedanya, menurut Prof. Dr. Slamet Muljana, Anusapati
Bertahta di Kutaraja (nagara Tumapel), sedang Tohjaya bertahta di nagara Daha, Bumi Kadiri. Hal ini
seolah-olah memperpanjang cerita permusuhan keluarga antara Kerajaan Panjalu
yang diwakili Tohjaya melawan Jenggala yang diwakili Anusapati. Hal ini
menimbulkan perpecahan lagi setelah Sri Ranggah Rajasa berhasil menyatukan
Panjalu-Jenggala pada tahun 1222 M, namun perpecahan ini akhirnya di satukan
kembali oleh persatuan Raja Wisnuwardhana-Narasinghamurti pada tahun 1172 C/1250
M. Pada tahun 1214 C/1292 M terbukti drama permusuhan antara Panjalu vs
Jenggala terulang lagi dengan Keruntuhan Singhasari (Jenggala) oleh Jayakatwang
dari darah Panjalu-Kadiri. Akhirnya Raden Wijaya menyatukan lagi pada tahun
1215 C/1293 M dan membangun keraton baru di wilayah Trik.
Untuk pemindahan Keraton Majapahit
dari wilayah Trik ke daerah kuna Alasanta atau Lmah Tulis, yang sekarang Trowulan,
maka dicari terlebih dahulu peristiwa penodaan
keraton di Trik. Pada masa Raden Wijaya bertahta dengan nama Abishekanya Sri
Maharaja Kertarajasa Jayawardana di temukan beberapa peristiwa pemberontakan.
Menurut pararaton pada tahun 1217 C/1295 M terjadi pemberontakan Rangga Lawe dan
1222 C/1300 M terjadi pasora namun
keduanya dapat ditumpas. Sampai akhir masa jabatan Raden Wijaya semua dapat di
atasi, jadi sampai beliau wafat ibu kota kerajaan dapat di lindungi dari
upaya-upaya penodaan.
Pada masa raja kedua Majapahit,
yaitu Raja Jayanegara putra Raden Wijaya yang bertahta pada tahun 1231 C/1309 M,
terdapat pula beberapa pemberontakan. Menurut Negarakretagama (48/2) Peristiwa Perang
Lumajang berlangsung pada tahun 1238 C/1316 M, namun peristiwa ini tidak
menyentuh keraton karena peperangan terjadi di Lumajang.
Kemudian peristiwa yang dapat
menggegerkan keseimbangan kosmologis
sekaligus menodai kesucian Keraton Majapahit di Trik adalah
Pemberontakan Kuti pada tahun1241 C/1319 M yaitu Sembilan (9) tahun sebelum
mangkatnya Raja Jayanegara (Muljana, 2005:236). Peristiwa ini dalam pararaton
di jelaskan telah berhasil menguasai keraton, namun Raja Jayanegara berhasil
diselamatkan oleh Bekel Gajah Mada menuju desa Bedander. Tidak begitu lama
peristiwa ini berlangsung, setelah Gajah Mada berhasil menguasai keraton lagi
maka Rajapun pulang ke Kraton. Dari
peristiwa ini di ketahui bahwa raja kembali lagi kekeratonnya, yang semestinya
masih di daerah Trik. Hal ini bukan berarti Jayanegara tidak memindahkan
keratonnya setelah pemberontakan Kuti yang berhasil menduduki ibu kota
kerajaan.
Hal kembalinya seorang
raja ke Keratonnya setelah terjadi penyerangan ataupun dikuasainya keraton oleh
musuh bukanlah hal baru. Hal ini sering terjadi bahkan di sebutkan dalam
sumber-sumber tertulis. Contoh dalam Prasasti Pucangan (963 C/1041 M) dan
Prasasti Terep I (954 C/1034 M) mengenai penyerangan keraton Airlangga di
Wwatan Mas sehingga Raja mengungsi ke Patakan, namun setelah musuh dapat di usir Rajapun
kembali lagi. Pada Masa Panjalu-Kadiri, dalam prasasti Kamulan (1116 C/1194 M)
masa raja Kretajaya waktu dapat serangan dari sebelah Timur (mungkin daerah
Tumapel) disebutkan“....lagi kilala mwang kalasana decanya padapuran Cri Maharaja tatkala ni…n
kentar sangke kadatwan ring Katangkatang deni
Nkin malr yatik kaprabhun Cri
Maharaja siniwi ring bumi Kadiri..”( Brandes, 1913:173 )
Prasasti ini mengenai permohonan para samya haji katandan
sapakat, karena telah mengembalikan raja ke atas singasana di bumi Kadiri,
setelah sebelumnya terpaksa meningalkan istananya di Katangkatang karena ada
serangan musuh dari timur (sebelah Timur Kadiri? jangan-jangan Tumapel).
Kemudian peristiwa Pertumpahan darah antara Kerajaan yang
di pimpin Tohjaya dengan Kerajaan Anusapati dengan hasil kematian Anusapati di
Tumapel pada tahun 1170 C/1248 M,
namun penerusnya yaitu Sminingrat tetap bertahta di Kutaraja. Namun pada tahun
1176 C/1254 M ibu kota dipindahkan ke Singhasari. Antara tahun kematian
Anusapati dengan pemindahan kerajaan berselang enam (6) tahun, dan empat (4)
tahun setelah suasana politik setabil karena ditaklukkannya Raja Tohjaya. Jadi
membutuhkan bertahun-tahun untuk memindahkan kerajaan supaya layak dihuni
sesuai syarat kosmologi yang berlaku.
Sama juga dengan proses pemindahan ibukota Majapahit dari
daerah Tarik ke Trowulan, membutuhkan waktu yang tidak singkat. Sebuah
pemberontakan/ penyerangan biasanya datang secara tiba-tiba, namun untuk
menentukan lokasi ibu kota dan proses pemindahan ibu kota baru sangatlah
memakan waktu. Jadi Setelah pemberontakan Kuti yang mendadak berhasil ditumpas,
maka Raja untuk sementara kembali ke Kraton yang lama untuk menunggu pembangunan Keraton yang baru,
yaitu di daerah yang sekarang di sebut Trowulan. Hal ini terbukti dari
Negarakretagama 48/3 bahwa pada tahun 1250 C/1328 M Raja Jayanegara meninggal
dan salah satu tempat pendharmaannya selain di dalam Pura sebagai Wisnuparama
juga disebutkan Bubat ditegakkan
arca Wisnu. Apabila Bubat yang dimaksud sama dengan nama
lapangan yang dipakai dalam peristiwa Pasundan
Bubat pada masa Raja Hayam Wuruk, maka Keraton yang dimaksud adalah Keraton
yang sekarang berada di Trowulan. Karena dalam Negarakretagama 86/1 (Muljana, 2007:
399) di sebutkan:
Dua hari kemudian berlangsung perayaan besar di utara kota terbentang lapangan bernama Bubat sering dikunjungi Baginda, naik tandu bersudut tiga
Diarak abdi berjalan, membuat kagum tiap orang
Dari penyebutan ”bubat” dalam Negarakretagama sebagai
salah satu tempat pendharmaan Raja Jayanegara, maka dapat ditafsirkan saat
beliau meninggal, bubat telah ada. Lokasi bubat sesuai Negarakretagama pupuh 86/1
di atas, yaitu berada di utara ibu kota Majapahit pada masa Raja Hayam Wuruk
(1350-1389 M). Sedangkan seperti yang telah diketahui Hayam Wuruk adalah raja
yang paling berjaya, dan lokasi ibu kota kerajaan sudah ada di Trowulan.
DAFTAR
RUJUKAN
Brandes,
J.L.A. 1913, Oud Javaancshe Oorkonden, Albrecht
& Co, Batavia
Groeneveldt, 1880. Notes
on the Malay Archipelago and Malacca Compiled from Chinese Sources.
Diterjemahkan Gatot Triwira, 2009. Nusantara
dalam Catatan Tionghoa. Jakarta: Komunitas Bambu.
Kaertakusuma, R. 2002. Prasasti Mula-Malurung Koleksi Puslit Arekeologi (C.82): Tinjauan awal
Atas Pahatan Prasasti-Prasasti Mula-Malurung. Makalah disajikan dalam seminar Nasional “Sejarah Kediri”.
Kediri: FPIPS IKIP PGRI KEDIRI
Muljana, S.2005. Menuju
Puncak Kemegahan. Yogyakarta: LKiS
Muljana, S.2007. Tafsir
Sejarah Negara Kretagama. Yogyakarta: LKiS
Munib, NB. 2011. Dinamika Kekuasaan Jayakatwang di Kerajaan Glang - Glang Tahun 1170 - 1215 Caka : Tinjauan Geopolitik. (Skripsi) Malang : FIS UM
Munib, NB. 2011. Dinamika Kekuasaan Jayakatwang di Kerajaan Glang - Glang Tahun 1170 - 1215 Caka : Tinjauan Geopolitik. (Skripsi) Malang : FIS UM
Pojoh, Ingrit H.E.1994. Medowo Sebagai Kota Majapahit; dalam Berkala Arkeologi Edisi
Khusus: 216-217. Jakarta: Lembaga Arkeologi FSUI
Wibowo, A.S.1979. dalam Majalah Arkeologi. Jakarta:
Lembaga Arkeologi FSUI