Sabtu, 09 Februari 2019

BIBIRMU MASIH PERAWAN?

KETIKA USTADZ JATUH CINTA
Part 5
Oleh :
ANing Miftakhul Janah


Mentari merangkak naik menyengat bumi dengan sinarnya. Waktu Dhuha telah habis. Ustadz Zaki, Yuni dan Fara melanjutkan wisata ke Gronjong Wariti, di desa Mejono. Kabupaten kediri. Tak jauh dari wisata kebun bibit jambu.

Gronjong Wariti adalah wisata kali yang di dimodifikasi dengan spot-spot manis sehingga menarik pengunjung untuk sekedar melepas penat atau untuk berselfi ria.

“Suasananya masih asri ya Mas, nyaman banget ngadem di sini, pare dan sekitarnya memang memiliki pesona tersendiri,” kata Yuni yang duduk bersebelahan dengan Fara dan Ustadz Zaki, di kursi bambu pinggir sungai. Dirinya berada di tengah untuk memisahkan dua orang yang sedang dirajuk asmara itu.

“Makanya skripsi di selesaikan biar cepet-ceper bisa pulang, “ jawab Ustadz Zaki.

“Biar cepet pulang apa biar bisa nemenin mas Zaki sama mbak Fara ketemuan lagi,” goda Yuni dengan tertawa.

“hmm, nggak lah masak kencan ngajak adek terus” jawab lelaki berkulit putih itu.

“Ya udah, kalo gitu aku naik perahu dulu, kayak nya asik tuh, kalian nggak usah ikut.”

Perahu kayu juga menjadi daya tarik di wisata itu. Pengunjung dimanjakan dengan duduk diatas perahu, kemudian menyusuri perairan yang cukup luas dan panjang dengan suasana yang asri karena pepohonan yang rindang turut mengayomi.

“Jangan ditinggal berdua dong Yun, menghindari hal-hal yang diinginkan,” jawab Ustadz dengan tertawa.

“Diinginkan?” sahut Yuni. Dan tawa pun pecah. Yuni menyadari walau abangnya Ustadz tapi juga manusia biasa yang mempunyai naluri dan nafsu, ketika di tinggal berdua dengan orang yang dikasihi, setan bisa menjadi pihak ketiga yang membisik untuk berbuat maksiat.

Faris datang menjemput kakaknya dengan membawa sekotak brownies yang dibuat oleh Fara. Setelah salim dengan Zaki, dan berkenalan dengan Yuni, adik laki-laki itu ikut duduk di bawah pohon bambu yang menyejukkan itu.

“Monggo mas, mbak Yuni browniesnya. Ini buatan mbak Fara Lo, semalam lembur tuh bikin untuk ... “

“Bikin untuk Yuni,” sahut Fara karena malu jika adiknya menyebut nama Ustadz Zaki.

“Iya deh ... “ Jawab Faris sambil tertawa.

Yuni menahan tawa karena melihat wajah Fara Memerah. Yuni dan abangnya mengambil sepotong kemudian melahapnya.

“Hem ... Enak mbak, layak jual nih, beneran,” puji Yuni.

Ustadz Zaki pun memanfaatkan momentum itu untuk membujuk Fara mencoba berwirausaha agar berhenti bekerja di pabrik rokok. Harapannya, ibunda bisa simpati dengan bidadari pujaan hati.

“Bener, enak. Fara nggak pengen buka toko kue aja?, nanti tak endorse, follower ku kan banyak. Gratis ko,” kata Ustadz Zaki sambil tersenyum.

“Pengen Ustadz, tapi nggak bisa bikin kue macem-macem. Cuma bisa bikin brownies sama Proll Tape,” jawab Fara.

“Ya dua itu aja dikembangkan, yang penting memulai dulu. Nanti kursus di Bogasari atau Paramarta Kediri biar rasanya lebih sempurna.”

“Mantul, bener tuh mbak kata Ustadz Zaki. Mulai wirausaha ya, biar nggak ngantor terus,” sahut Faris.

“Setuju. Fara ... di niati menyempurnakan hijrah, berwirausaha bisa memiliki waktu fleksibel, kalo ada acara keagamaan bisa ikut, bisa dikerjakan di rumah juga sambil ngawasin anak kalo kita sudah berumah tangga. Sekarang kita kerja sama saja, Fara yang bikin nanti di jajakan di minimarket ku, tak bantu promo juga deh,” ustadz Zaki masih berusaha membujuk pujaan hatinya.

“Yang bener itu mbak Fara biar bisa ikut kajiannya mas Zaki terus. Jadi kan sering ketemu tuh. Modus juga Babang Ustadz satu ini,” sahut Yuni penuh goda.

“Nggak Yun, niatnya bener-bener cari solusi untuk pekerjaannya Fara. Tapi kalo akhirnya bisa sering ketemu ya Alhamdulillah,” jawab Ustadz Zaki sambil tertawa.

“Tuh kan,” sahut Yuni. Dan tawa pun pecah.

Yuni pun turut membantu meyakinkan, “mau aja mbak, jarang lo mas Mas Zaki mau endorse, Dia juga ngerti bisnis, minimarketnya aja berkembang. Dimentorin bisnis calon suami kan so sweet, anggap aja berjuang bersama demi restu Ibuk.”

“Oke, aku akan mengundurkan diri,” jawab Fara dengan tersenyum.

Diskusi ringan terjadi. Ustadz Zaki banyak memberi masukan terkait Branding, kemasan, label dan juga pemasaran.

“Namanya yang unik, mudah diingat dan yang pasti menarik,” saran Ustadz Zaki.

Mereka berempat berpikir bersama. Berbagai nama muncul tapi masih belum menemukan yang menarik.
Faris semakin antusias berfikir keras hingga munculah nama, “brownies Kediri aja, selain mudah diingat, untuk mengangkat nama Kediri juga,” usul Faris.

“Betul. Brownies legend Kediri,” kata Ustadz Zaki.”

Gadis cantik itu menyetujui. Dirinya semakin mantap mengundurkan diri dan mencoba berwirausaha.
“Semangat ya,” kata Ustadz Zaki dengan penuh senyum.

Dawai asmara mengalun diantara keduanya membuat Suasana semakin indah dirasakan oleh Ustadz Zaki dan Fara. Lelaki itu bahagia ketika melihat wanita yang dikasihi tersenyum.

Matahari semakin naik. Dan kini tepat berada di tengah-tengah menandakan jam 12.00 WIB. Setelah menikmati sejuknya kali Gronjong, Ustadz Zaki mengajak semuanya untuk menunaikan Shalat Dzuhur, kemudian makan siang di Mie Djudes Pare, karena Yuni merengek-rengek ingin menikmati lezatnya mie dengan cita rasa super pedas itu. Terakhir melajukan mobilnya ke rumah. Gadis pujaan hati itu juga kembali ke rumah dengan adik laki-lakinya.

°°°
“Assalamu’alaikum,” ucap Yuni dan Ustadz Zaki bersamaan.

“Waalaikum salam, pulang juga kalian,” jawab Bu Fatimah dengan ketus.

“Buk sama mas Zaki di beliin madu mongso kesukaan ibuk, ini yang paling enak di Mejono, Madumongso Cap Madu,” kata Yuni sambil meletakkan jajanan tadisional itu di meja makan.

“Iya, terimakasih sudah ingat sama ibuk. Kalian duduk dulu,” perintah Bu Fatimah dengan nada kesal.
Kakak beradik itu bingung dan tidak mengerti dengan sikap ibunya yang tiba-tiba kesal.

“Zaki apa ini,” kata Bu Fatimah sambil menunjukkan foto Fara dan Yuni di kebun Bibit.

“Tadi ibuk nggak boleh ikut ternyata di sana kamu janjian sama Fara,” nada tinggi Bu Fatimah membuat kedua anaknya tersentak.

Ustadz Zaki terdiam dan memegang dahinya yang terasa pening. Ya Allah, ketahuan juga. Gumam Ustadz dalam hati.

“Kenapa Cuma diam, “ kata Bu Fatimah dengan nada yang semakin meninggi.
“Kalo mas Zaki jujur apa ibuk mengizinkan?”

“Diam Yun. Kamu juga salah. Tidak usah ikut bicara!.”

Bentakan Bu Fatimah tidak membuat anak gadisnya ciut. Dia terus berusaha membela kakaknya.

“Buk mbak Fara itu kurang apa sih, dia baik, lembut, cantik lagi. Menurut Yuni mereka cocok. Mengapa ibuk nggak suka?”

“Yuni, ibuk bilang diam ya diam, kamu tidak tau apa-apa, nggak usah bicara,” nada Bu Fatimah semakin meninggi.

“Tapi ... “ belum selesai Yuni bicara.

“Yun,” sahut Ustadz Zaki dengan menggelengkan kepala, memberi kode agar Yuni diam.
“Zaki minta maaf buk.”

“Hanya Maaf? Karena gadis itu kamu berani bohong. Fara juga, kemarin katanya mengerti perasaan ibuk, ternyata sekarang malah janjian sama kamu. Gadis macam apa itu.”

Mendengar Fara disalahkan hati Zaki tidak menerima. Diapun terpancing untuk angkat bicara.
“Buk Fara nggak salah. yang mohon-mohon untuk ketemu itu Zaki, awalnya dia nggak mau,” jawab Zaki dengan pelan.

“Zaki!!!”
Brraakk!!!! Tangan Bu Fatimah menggebrak meja dengan kuat. Beruntung cangkir tidak ikut mencelat.

Dada Bu Fatimah Naik turun. Darah mendidih bergerak begitu cepat hingga menjalar sampai di puncak. Abah Mahfud datang dan kaget melihat istrinya yang marah dengan emosi memuncak.

“Ada apa? Kenapa ibu marah sampai seperti itu?,”

“Dua anak mu itu Bah, sudah berani bohong sama ibuk. Katanya ke kebun bibit ternyata Zaki ketemuan dengan Fara, sakit hati ini Bah dbohongi sama anak sendiri.” jawab Bu Fatimah dengan penuh emosi.

Pak Mahfud mengeryitkan dahi. Jika Ibuk tau aku juga terlibat hatinya bisa semakin tersungkur. Gumamnya dalam hati.

“Ibuk tenang, duduk dan minum dulu biar nggak darah tinggi,” jawab pak Mahfud sambil mengucurkan air di gelas kemudian memberikan pada istrinya.

Bu Fatimah pun meminum sedikit air. Hingga perasaannya lebih tenang.

“Buk Zaki dari dulu patuh sama ibuk, kalo dia sampek berbuat tidak jujur kita jangan sepenuhnya menyalahkan anak, tapi juga perlu introspeksi mungkin kita orang tua yang terlalu ngegas, anak-anak jadi takut dan tidak terbuka.

“Abah ko jadi nyindir ibuk, yang salah itu anakmu bah, seharusnya Abah marah sama mereka.”

Bersikukuh dengan sikapnya yang merasa benar karena merasa dibohingi membuat Bu Fatimah tidak juga menyadari kesalahannya.

“Ini Abah juga marah sama Zaki dan Yuni, seharusnya pamitnya tadi jujur. Dan Abah juga nggak nyindir, kalo ibuk merasa ya seharusnya sekarang intropeksi diri tidak hanya marah-marah seperti ini.”

“Kalian semua tidak mengerti perasaan Ibuk,” jawab Bu Fatimah dengan menangis. Kemudian berlalu menuju kamar. Dibantinglah pintu yang menjadi tutup ruang tidur itu.

“Jejak digital memang kejam ya mas, kita kayak maling ketangkap basah,” celetuk Yuni.

Ustadz Zaki masih tertunduk dengan kepala pening. Sesal memenuhi hatinya karena telah melukai hati ibunda.

“Zaki Kapok Bah tidak jujur, Ibuk Sampek nangis gitu, nyalahin Fara juga. Jadi nyesel gini.”

“Ya memang harus kapok le, tadi juga seharusnya kamu diam tidak usah menjawab ibumu. Tapi ya sudah, yang penting jangan diulangi lagi. Ini juga buat pembelajaran ibukmu biar sadar nggak memaksakan kehendak pada anak. Sekarang Abah mau ke kamar nyusul ibuk biar nggak terlalu kecewa.”

°°°

Matahari tenggelam tenggelam di peraduan. Mega sedikit demi sedikit undur diri dan langit menghitam. Waktu Maghrib dan Isya' sudah lewat.

Suasana makan malam berlalu dengan sunyi dan dingin. Bu Fatimah hanya diam dan tidak mau bicara dengan kedua anaknya. Ustadz Zaki berusaha minta maaf tapi tidak diberi kesempatan.

Langit begitu cerah. Hembusan angin di taman depan rumah mengurangi kepenatan di Hati Ustadz Zaki.

“Bagaimana le dengan pertemuan tadi?,” tanya Abah Mahfud yang tiba-tiba duduk disamping putranya.

“Alhamdulillah Bah Fara mau menunggu. Dia juga mau berhenti kerja. Zaki mendorong dirinya untuk wirausaha, rencananya mau jualan brownies dan prol tape.”

“Bagus itu, untuk wanita memang baiknya wirausaha jadi Ndak terikat waktu kerja. Kamu Carikan ruko le, biar cepet berkembang, agar adiknya tidak berhenti mondok,” usul Pak Mahfud.

“Nggih Bah, itu yang Zaki pikirkan."

“Tapi kalian nggak mengikrarkan diri pacaran kan?,” tanya Abah.

“Ya nggak lah Bah, mana berani Zaki ngajak pacaran. Takut di jewer sama Abah, he he he,” jawab anak lelaki itu dengan tertawa.

Abah Mahfud pun tertawa, “bagus. Kalo Sampek kalian pacaran, telingamu di jewer beneran sama Abah. Kalian jangan sering ketemu kecuali hal yang sangat penting. wA pun juga seperlunya. Kalo ketemu ngajak adikmu, intinya harus ada orang lain. Jangan Cuma berdua.”

“Masak ketemu harus ngajak Yuni terus Bah?” tanya Ustadz Zaki.

“La dari pada ngajak Abah, apa nggak lebih enak ngajak Yuni,” jawab Abah sambil tertawa. Abah dan kedua anaknya pun bercanda dan tertawa.

°°°

Suasana dingin masih menyelimuti rumah Pak Mahfud. Istrinya hanya berdiam diri di kamar. Menyandarkan punggung di bahu ranjang. Sakit hati masih dirasakan. Abah Mahfud menemani istrinya agar tidak merasa sendiri.

“Zaki sama Yuni dimana Bah?,” tanya Bu Fatimah penuh selidik.

“Jajan cilok di depan.”

“Ibuk masih marah, mereka enak-enakan jajan cilok, bah sekarang tolong panggilkan Zaki.”

Abah Mahfud pun bergegas memanggil putranya yang sedang berada di taman.

“Akhirnya Ibuk mau bicara. Zaki minta maaf Buk,” kata Ustadz Zaki dengan berlutut dibawah ranjang dengan memegang dan mencium tangan ibuknya.

Bu Fatimah pun mengeluarkan semua amarah, kekesalan dan juga kesedihannya karena merasa dibohongi dan ditentang oleh putranya. Ustadz Zaki hanya diam dan mendengarkan.

“Sekarang apa yang harus Zaki lakukan biar ibuk nggak nangis lagi dan mau memaafkan?” tanya ustadz Zaki.

“Berjanjilah sama Ibuk, kamu akan melupakan Fara, dan tidak akan menemuinya lagi.”

Deg. Petir seperti menyambar. Teringat senyum indah Fara tadi pagi, hatinya teriris jika harus harus menyakiti gadis yang dicintai.

Bagaimana mungkin aku meninggalkan Fara sedangkan baru tadi pagi aku meyakinkan dirinya untuk menungguku. Hatiku tak tega melukai hatinya. Bahkan aku bahagia ketika melihat dia bisa tersenyum. Tapi bagaimana dengan hati Ibuk? Gumam Ustadz Zaki dalam hati. Suasana menjadi hening. Lelaki itu diam termenung.