Kamis, 07 Februari 2019

BIBIRMU MASIH PERAWAN?

KETIKA USTADZ JATUH CINTA
Part 4

Oleh : Aning Miftakhul Janah





Malam yang cerah, secerah hati Utadz Zaki. Dadanya kian bergetar, gelora cinta semakin membara karena esok hari akan bertemu sang pujaan hati.

“Maturnuwun Bah.”

“Iya. Yang penting jaga pandangan mu. Jangan sampai cintamu menjelma menjadi hawa nafsu.”

Pesan Pak Mahfud selalu diingat oleh putranya. Ayah dan anak itu memang dekat karena Abahnya selalu berusaha menjadi sahabat bagi putra-putrinya.

Cinta telah masuk dalam sanubarinya. Menyatu dengan keimanan hingga jemarinya selalu menengadah, memohon keridhoan kepada Sang Pemilik Cinta yang Hakiki. Di sepertiga malam, Qiyamulail selalu ditunaikan dan nama Farahita menjadi rintihan dalam Do'anya.

°°°
Jam menunjukkan pukul 07.30 WIB keluarga itu telah selesai sarapan. Abah Mahfud pergi mengisi acara rutin pengajian Ahad Wage di Masjid Taqwa, timur pasar pare.

“Nduk jadi ke kebun bibit?” tanya Bu Fatimah yang sedang duduk disofa ruang keluarga.

“Jadi buk, ini mau berangkat nunggu Mas Zaki, Yuni ingin menikmati pesona kota pare,” jawab  putri bungsupak Mahfud.

Qurrota A'yuni, akrab disapa dengan Yuni adalah putri bungsu pak Mahfud yang sedang menempuh pendidikan di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang jurusan S1 PendidikanAgama Islam. Selain kuliah, Yuni juga mondok di pondok pesantren luhur malang.

“Ayo berangkat,” sahut Ustadz Zaki yang baru saja keluar dari kamar.

Yuni dan ibunya menoleh. Adik perempuan itu terperangah melihat penampilan kakaknya. Mengenakan celana Chino warna krem, kemeja putih sedikit ketat dengan lengan seperempat menampakkan dada bidangnya. Perut tipis dan tubuh atletis dengan tinggi 180 cm. Casual namun gagah sekali. Ustadz Zaki memang suka nge-gym.

Rambut hitam lebat yang disisir rapi menjadi mahkota wajah tampannya. Alis tebal, hidung mbangir, bibir tipis yang eksotis dan kulit bersih. Maskulin.

“Rapi banget Le, ganteng begitu. Mau ke mana saja?” tanya Bu Fatimah penasaran.

“Mau nganter Yuni buk, katanya pengen jalan-jalan keliling kota pare. Sengaja dandan ganteng biar dikira pacarnya jadi enggak ada yang berani ngelirik putri ibu itu,” jawabnya sambil tersenyum dan duduk di sebelah ibunya.

Yuni tersenyum menahan tawa. Dirinya yang telah diajak Kong kali Kong oleh abangnya agar ibunda tidak mengetahui rencana pertemuan dengan Fara di kebun bibit hanya bergumam dalam hati, pinter juga cari alasan, padahal mau kencan.

“Le tolong pijitin kaki ibuk sebentar ya, telapak kaki rasanya nyeri buat jalan,” perintah Bu Fatimah.

“Biar Yuni saja Buk, sudah lama enggak mijitin ibu,” sahut Yuni yang duduk di hadapan Bu Fatimah.

“Enggak usah, tanganya Zaki lebih empuk. Biasanya juga Masmu yang mijitin,” kata Bu Fatimah sambil memberikan minyak GPU ke tangan Ustadz Zaki.

Memegang minyak itu, Ustadz Zakiterdiam beberapa saat tanpa ekspresi.Antara sedih dan juga ingin tertawa karena sudah berusahaberpenampilan maksimal ternyata harus memijit dengan minyak yang memiliki bau khas. Tapi tanpa pikir panjang langsung dibuka cairan berwarna kuning kecoklatan itudan jemarinya mulai memijit. Pekerjaan kecil perintah ibunya memang tak pernah bisa ia tolak.

Melihat mimik wajah kakaknya, Yuni tertawa lepas.

“Guyu opo to Nduk?,” Tanya Bu Fatimah.
(Apa yang membuatmu tertawa?)

“Enggak papa kok buk, lucu saja, Mas Zakisudah dandan ganteng maksimalgitu eh bau GPU,” jawab Yuni dengan tertawa.

Celoteh adiknya membuat Ustadz ganteng itu dan ibunya tertawa.Suasana pagi semakin hangat.

Jam menunjukkan pukul 08.15 putra lelaki yang masih memijit itu memberi kode pada adiknya agar memintanya segera berangkat.

“Buk sudah ya pijitnya, Yuni ingin segera berangkat, keburu siang.”

Bu Fatimah pun setuju. Dan menurunkan kaki dari pangkuan putranya.

“Pijitanmu memang mantap Le,sekarang sudah enggaknyeri. Ibuk ikut kalian ya,” pinta Bu Fatimah sambil menggerak-gerakkantelapak kakinya.

Ustadz Zaki yang sedang minum teh tersedak dan batuk-batuk mendengar permintaan ibunda. Yuni juga terkejut.

“Kalo minum pelan-pelan le biar enggak keselek.”

Anak laki-laki itu hanya tersenyum khawatir.

“Ibu ke kamar dulu ya, ganti baju,” kata wanita paruh baya bertubuh tinggi itu sambil berlalu menuju kamar.

“Masya Allah, mau ketemu aja berat bener cobaannya, masak iya kencan pertama gagal. Begini kalo tidak jujur,” kata Ustadz Zaki sambil memegang dahinya yang tiba-tiba terasa pening.
“Sabar, tenang, ini ujian, harus ditahan,” goda adiknya sambil tertawa.

“Kamu jangan ketawa aja Yun, bantu masmu, kalau ibuk ikut bisa kacau semuanya.

Mereka pun menghambur ke kamar ibunya dan berusaha membujuk agar tinggal di rumah tapi ibunya kekeh ingin ikut.

Ustadz Zaki mulai panik. Jantungnya berdegup kencang seperti senam aerobik. Tiba-tiba bel rumah berbunyi. Dirinya segera keluar membuka pintu. Ternyata Mbah darti, ahli pijit datang.
“Jadi mau pijat sekarang Mbah? Nggak jadi nanti siang,monggo bisa kok, ayo ke kamar Ibuk” jawab Ustadz Zaki dengan semangat dan girang.

Lelaki berbadan tegap itu menghela nafas lega.Perasaannyabahagia seperti mendapatkan kursi haji yang segera berangkat tanpa harus mengantre puluhan tahun karena malaikat penolongnya datang tepat waktu.

Ustadz Zaki berpamitan dan minta maaf karena merasa bersalah telah berbuat tidak jujur pada ibunya.

Mobil bergerak keluar menyusuri jalan, dari Tulungrejo menuju Mejono.Tak butuh waktu lama, kini mereka telah masuk lokasi Wisata Kebun Bibit di jalan raya Mejono, Tegowangi. Pelemahan, Kabupaten Kediri.

Wisata kebun bibit yang unik, tidak hanya menyediakan aneka tanaman buah dan bibit saja, tetapi juga menyediakan tempat yang nyaman untuk nongkrong semua kalangan mulai anak-anak, remaja dan juga orang tua.

Pengunjung dimanjakan dengan adanya bebera Spot menarik yaituCafe out door dengan kolam ikan mini malis yang segar dipandang mata.Gazebo minidan juga terdapat kamar berjajarberbentuk segitiga sebanyak empat buah dengan desain apikmenjadi tempat yang menarik untuk foto Selfi.

Pengunjung bisa menikmati makanan di gazebo dengan suasana asri ala pedesaan karena berada di tengah pelataran bibit. Lebihasyik lagi, bisa menikmati durian segar dengan cita rasa manis dan legit.

[Ustadz aku sudah di lokasi. Duduk di gazebo paling utara] pesan What'sApp dari Fara masuk pada ponselnya.

[Tunggu sebentar ya. Sudah di parkiran] balasnya.

Ustadz Zaki mematikan mesin mobil dan bergegas keluar karena merasa tak enak membuat Fara menunggu.

“Babang sayang tunggu dulu, mau kencan sudah ganteng masak bau GPU,” goda Yuni sambil tertawa.

“Oh iya, lupa.”

Setelah memakai cairan wangi dirinyamerapikan rambut di spionmobil dan juga bajunya. Yuni mengamati tingkah laku abangnya dengan saksama.

“Begini ya kalo babang Ustadz lagi jatuh cinta. Ngaca terus kayak Emak-Emak mau foto ama bang Sandi Uno aja.”

Yuni memang jahil. Dia paling suka menggoda abangnya yang selama ini selalu bersikap cuek dengan gadis tiba-tiba jatuh cinta.

“Kamu belum merasakan jatuh cinta. Makanya meledek gitu. Sudah ayo keluar.”

Kakak beradik itu menuju tempat Fara, di gazebo paling Utara yang terletak di pelataran pohon bibit.
“Assalamualaikum,” sapa Ustadz Zaki dan adiknya.

“Waalaikum salam,” jawab Fara sambil menoleh dan meletakkan gawainya.

Ustadz Zaki menyatukan kedua tangan sebagai tanda bersalaman.
“Kenalkan ini adikku Yuni.”

Yuni pun segera bersalaman dan memeluk Fara. Kini mereka berbincang-bincang dengan saling berhadapan. Ustadz Zaki yang duduk di samping adiknya hanya mendengarkan, karena ingin mereka saling akrab lebih dulu.

Melihat Fara walau hanya sekilas hatinya semakin bergetar. Kerudung ungu dengan gamis longgar motif bunga yang senada membuat wajahnya terlihat semakin ayu.

“Mas, Yuni mau jalan-jalan sekalian pesan makanan ya, kalian silakan ngobrol, Mas Zaki sama mbak Fara mau makan apa?,” tanya Yuni dengan menyodorkan buku menu pada keduanya.
“Kamu di siniaja Yun, kalo mau pesen biasanya manggil mas nya yang jaga,” ucap Ustadz Zaki sambil memegang lengan adiknya.

Gemetar jemarinya dirasakan oleh Yuni. Dirinya yang mengerti bahasa tubuh abangnya menahan tawa dan menuruti.Ada aku aja grodi sampai gemetar apalagi kalo udah nikah dan hanya berdua di kamar pengantin. Gumam jahil adik perempuan itu.

“Fara bagaimana kabarmu sekeluarga? Ibu sehat?,” tanya Ustadz Zaki.

“Alhamdulillah, semuanya sehat.”

“Maafkan ibuku ya, kemarin menemuimu. “

“Enggak papa. Aku mengerti Bu Fatimah,” jawab Fara dengan tersenyum.

Begitulah Fara. Kalem, sabar dan lembut. Tidak ada raut marah sedikit pun pada Bu Fatimah dan sifatnya yang jujur membuat Ustadz Zaki semakin meleleh.

“Fara aku tulus mencintaimu. Aku ingin membangun rumah tangga denganmu. Pertama kali ibu menolakmu, mataku berusaha melupakanmu, tapi namamu masuk begitu saja ke hatiku tanpa terkendali karena kamu cinta pertamaku.”

Gadis itu hanya diam karenaingin mendengarkan semua isi hati lelaki yang mencintainya itu.

“Fara kita berjuang bersama ya, untuk mendapatkan restu ibuku,” ucap Ustadz Zaki penuh kelembutan.

“Tapi aku hanya gadis biasa. Aku tidak sepadan denganmu. Masih banyak wanitayang lebih baik dariku. Jika hubungan ini dilanjutkan, ibunya Ustadz akan semakin sakit. Aku membuat putranya tidak berbakti.”

Ustadz Zaki terdiam beberapa saat. Yuni yang sedari tadi diam menikmati lezatnya tahu petis hangat mulai tertarik untuk menyimak.

“Fara, ibu menolakmu bukan karena alasan syariat. Ketika laki-laki sudah mempunyai keinginan untuk menikah dan sudah menemukan calon istri yang shalehah, seiman seagama, orang tua tidak bisa melarang karena menikah itu kebutuhan pribadi, kebutuhan syahwat  yang tidak bisa dipenuhi oleh ayah dan ibu kecuali calon pasangan. Bahkan disarankan orang tua segera merestui agar pintu halal terbuka seluas-luasnya dan pintu haram karena maksiat tertutup serapat-rapatnya. Kita hanya perlu berjuang dengan santun dan lembut agar ibu tidak terluka.”

Fara masih terdiam. Gerimis membasahi bumi. Menemani suasana sejuk hati Ustadz Zaki yang berusaha meyakinkan bidadari pujaan hati.

“Fara, ibu tidak membencimu.Beliau hanya butuh waktu untuk mengenalmu lebih dekat.”

Takut dan ragu masih bersarang di hati Fara. Gadis itu khawatir jika karena penantiannya malah menyakiti hati seorang ibu yang telah melahirkan Ustadz Zaki dan juga takut dirinya terjebak dalam perbuatan maksiat lagi.

“Apa boleh jika seorang gadis menunggu orang tua calon laki-laki merestui?, tanya Fara dengan lugu.

“Boleh,asalkan menanti dengan Iman. Dengan menjaga pandangan dan hawa nafsu, bagaimana Fara?” tanya Ustadz Zaki.

Suasana kembali hening. Lelaki Shaleh, penyayang pada sosok Ibu mencintaiku dengan tulus. Dia mengerti hukum agama, Insyallah tidak akan berani menyentuhku sebelum halal. Aku memang mencintainya dan juga butuh sosok imam seperti dirinya.Ya Allah Bismillah. Ku niatkan ini sebagai tirakat menuju ibadah terlama, pernikahan. Gumam Fara dalam hati. Kemudian dia mengangguk sebagai jawaban.

“Alhamdulillah ... “ cetus bahagia Yuni yang juga menunggu jawaban dengan harap-harap cemas.

Rintik gerimis menjadi saksi di sisa waktu Dhuha yang lembut itu. Ustadz Zaki mendapatkan hati seorang gadis dikasihi. Kini dua hati itu telah bersatu menuju satu muara. Pernikahan.

“Bismillah ya Ra, kita hadapi bersama.”

Fara pun mengangguk dengan senyum termanisnya. Dua pasang mata itu saling bertemu sebentar. Dada Ustadz Zaki kembali bergetar. Begitu juga dengan Fara.

Fara, jangan senyum napa. Jadi pengen mandang terus, tapi takut dosa. Astaghfirullah hal azim. Ingat pesan abah Zak. Gumam ustadz Zaki dalam hati dengan menundukkan kepala.

Angin berhembus pelan dan langit cerah kembali,secerah suasana pasar papringan yang terdapat di bagian belakang kebun bibit. Terdapat aneka jajanan tradisional yang dijajakan di bawah pohon bambu itu. Klepon, cenil, lupis, lontong sayur, sawut, Sego jagung kulub dan aneka makanan lainya menggoda hati Yuni untuk mengunjungi.

Mereka bertiga berjalan menuju pasar, kedua gadis itu berjalan berdampingan. Sedangkan Ustadz berparas teduh itu berjalan di belakang.

Melihat Ustadz Zaki, sekitar sepuluh Emak-Emak sosialita yang duduk di gazebo besar untuk arisan bersama menghambur ke arahnya.

Ceramahnya yang ringan dan kekinian, serta parasnya yang tampan membuat dirinya digandrungi oleh remaja, ibu muda dan Emak-Emak milenial.

“Assalamu’alalikum Ustadz, Nggak nyangka ketemu di sini. Kami ini jama'ah nya Ustadz Lo,disini sama pacarnya ya?,” tanya salah satu emak yang memakai jumpsuite merah.
Ustadz Zaki menjawab salam dengan menyatukan kedua tangan. 

Saya disini dengan adik. Jawabnya dengan menunjuk Yuni dan Fara.

“Wah adiknya cantik-cantik,” sahut emak yang memakai rok kotak-kotak warna krem.

“Ustadz kita foto bareng yuk, mumpung Ustadz nggak pakai baju dinas, jadi kelihatan tambah keren, tujuannya baik ko, anak saya biar semangat ikut pengajian,” bujuk Emak yang memakai setelan baju warna merah.

“Baju dinas?” sahut Yuni penasaran.

“Iya, biasanya kan pake sarung,” jawaban kompak penuh semangat dari Emak-Emak membuat tawa pecah dan suasana semakin meriah.

Segerombol ibu-ibu yang memakai pakaian warna senada itu dengan cepat langsung pasang badan sehingga Ustadz Zaki yang berniat ingin mlipir tidak bisa. Dan kamera pun tidak bisa dihindari. Fara dan Yuni tergeser para sosialita yang lagi heboh berpose. Kini kedua gadis duduk di tangga Gazebo dekat lokasi foto.

Setelah beberapa kali jepretan, Ustadz Zaki pamit untuk melanjutkan jalan-jalan menuju pasar Papringan. Mereka menikmati jajanan tradisional.


Jam menunjukkan pukul 01.00. Pak Mahfud belum sampai dirumah. Merasa bosan akhirnya Bu Fatimah Stalking Facebook putrinya. Tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Kemudian menuju Facebokk Ustadz Zaki

Terlihat foto-foto putranya dengan para sosialita itu karena Facebook Ustadz Zaki ditandai. Terlihat pula Fara dan Yuni terjepret duduk di tepi Gazebo.

Tubuhnya menghangat. Darahnya mendidih, kecewa karena merasa anak-anaknya tidak jujur padanya.

"Ternyata kesana bertemu dengan Fara. Zaki berani kamu sama Ibuk, awas kamu," Gumamnya dengan bersungut-sungut.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar