KETIKA USTADZ JATUH CINTA
Part 4
Oleh : Aning Miftakhul Janah
Malam yang cerah, secerah hati Utadz Zaki. Dadanya kian
bergetar, gelora cinta semakin membara karena esok hari akan bertemu sang
pujaan hati.
“Maturnuwun Bah.”
“Iya. Yang penting jaga pandangan mu. Jangan sampai cintamu
menjelma menjadi hawa nafsu.”
Pesan Pak Mahfud selalu diingat oleh putranya. Ayah dan anak
itu memang dekat karena Abahnya selalu berusaha menjadi sahabat bagi
putra-putrinya.
Cinta telah masuk dalam sanubarinya. Menyatu dengan keimanan
hingga jemarinya selalu menengadah, memohon keridhoan kepada Sang Pemilik Cinta
yang Hakiki. Di sepertiga malam, Qiyamulail selalu ditunaikan dan nama Farahita
menjadi rintihan dalam Do'anya.
°°°
Jam menunjukkan pukul 07.30 WIB keluarga itu telah selesai
sarapan. Abah Mahfud pergi mengisi acara rutin pengajian Ahad Wage di Masjid
Taqwa, timur pasar pare.
“Nduk jadi ke kebun bibit?” tanya Bu Fatimah yang sedang
duduk disofa ruang keluarga.
“Jadi buk, ini mau berangkat nunggu Mas Zaki, Yuni ingin
menikmati pesona kota pare,” jawab putri
bungsupak Mahfud.
Qurrota A'yuni, akrab disapa dengan Yuni adalah putri bungsu
pak Mahfud yang sedang menempuh pendidikan di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
jurusan S1 PendidikanAgama Islam. Selain kuliah, Yuni juga mondok di pondok
pesantren luhur malang.
“Ayo berangkat,” sahut Ustadz Zaki yang baru saja keluar dari
kamar.
Yuni dan ibunya menoleh. Adik perempuan itu terperangah
melihat penampilan kakaknya. Mengenakan celana Chino warna krem, kemeja putih sedikit
ketat dengan lengan seperempat menampakkan dada bidangnya. Perut tipis dan
tubuh atletis dengan tinggi 180 cm. Casual namun gagah sekali. Ustadz Zaki
memang suka nge-gym.
Rambut hitam lebat yang disisir rapi menjadi mahkota wajah tampannya.
Alis tebal, hidung mbangir, bibir tipis yang eksotis dan kulit bersih.
Maskulin.
“Rapi banget Le, ganteng begitu. Mau ke mana saja?” tanya Bu
Fatimah penasaran.
“Mau nganter Yuni buk, katanya pengen jalan-jalan keliling
kota pare. Sengaja dandan ganteng biar dikira pacarnya jadi enggak ada yang
berani ngelirik putri ibu itu,” jawabnya sambil tersenyum dan duduk di sebelah
ibunya.
Yuni tersenyum menahan tawa. Dirinya yang
telah diajak Kong kali Kong oleh abangnya agar ibunda tidak mengetahui rencana pertemuan
dengan Fara di kebun bibit hanya bergumam dalam hati, pinter juga cari alasan,
padahal mau kencan.
“Le tolong pijitin kaki ibuk sebentar ya, telapak kaki
rasanya nyeri buat jalan,” perintah Bu Fatimah.
“Biar Yuni saja Buk, sudah lama enggak mijitin ibu,” sahut
Yuni yang duduk di hadapan Bu Fatimah.
“Enggak usah, tanganya Zaki lebih empuk. Biasanya juga Masmu
yang mijitin,” kata Bu Fatimah sambil memberikan minyak GPU ke tangan Ustadz
Zaki.
Memegang minyak itu, Ustadz Zakiterdiam beberapa saat tanpa
ekspresi.Antara sedih dan juga ingin tertawa karena sudah berusahaberpenampilan
maksimal ternyata harus memijit dengan minyak yang memiliki bau khas. Tapi
tanpa pikir panjang langsung dibuka cairan berwarna kuning kecoklatan itudan
jemarinya mulai memijit. Pekerjaan kecil perintah ibunya memang tak pernah bisa
ia tolak.
Melihat mimik wajah kakaknya, Yuni tertawa lepas.
“Guyu opo to Nduk?,” Tanya Bu Fatimah.
(Apa yang membuatmu tertawa?)
“Enggak papa kok buk, lucu saja, Mas Zakisudah dandan ganteng
maksimalgitu eh bau GPU,” jawab Yuni dengan tertawa.
Celoteh adiknya membuat Ustadz ganteng itu dan ibunya
tertawa.Suasana pagi semakin hangat.
Jam menunjukkan pukul 08.15 putra lelaki yang masih memijit
itu memberi kode pada adiknya agar memintanya segera berangkat.
“Buk sudah ya pijitnya, Yuni ingin segera berangkat, keburu
siang.”
Bu Fatimah pun setuju. Dan menurunkan kaki dari pangkuan putranya.
“Pijitanmu memang mantap Le,sekarang sudah enggaknyeri. Ibuk
ikut kalian ya,” pinta Bu Fatimah sambil menggerak-gerakkantelapak kakinya.
Ustadz Zaki yang sedang minum teh tersedak dan batuk-batuk
mendengar permintaan ibunda. Yuni juga terkejut.
“Kalo minum pelan-pelan le biar enggak keselek.”
Anak laki-laki itu hanya tersenyum khawatir.
“Ibu ke kamar dulu ya, ganti baju,” kata wanita paruh baya
bertubuh tinggi itu sambil berlalu menuju kamar.
“Masya Allah, mau ketemu aja berat bener cobaannya, masak iya
kencan pertama gagal. Begini kalo tidak jujur,” kata Ustadz Zaki sambil
memegang dahinya yang tiba-tiba terasa pening.
“Sabar, tenang, ini ujian, harus ditahan,” goda adiknya
sambil tertawa.
“Kamu jangan ketawa aja Yun, bantu masmu, kalau ibuk ikut
bisa kacau semuanya.
Mereka pun menghambur ke kamar ibunya dan berusaha membujuk
agar tinggal di rumah tapi ibunya kekeh ingin ikut.
Ustadz Zaki mulai panik. Jantungnya berdegup kencang seperti
senam aerobik. Tiba-tiba bel rumah berbunyi. Dirinya segera keluar membuka pintu.
Ternyata Mbah darti, ahli pijit datang.
“Jadi mau pijat sekarang Mbah? Nggak jadi nanti siang,monggo
bisa kok, ayo ke kamar Ibuk” jawab Ustadz Zaki dengan semangat dan girang.
Lelaki berbadan tegap itu menghela nafas lega.Perasaannyabahagia
seperti mendapatkan kursi haji yang segera berangkat tanpa harus mengantre
puluhan tahun karena malaikat penolongnya datang tepat waktu.
Ustadz Zaki berpamitan dan minta maaf karena merasa bersalah
telah berbuat tidak jujur pada ibunya.
Mobil bergerak keluar menyusuri jalan, dari Tulungrejo
menuju Mejono.Tak butuh waktu lama, kini mereka telah masuk lokasi Wisata Kebun
Bibit di jalan raya Mejono, Tegowangi. Pelemahan, Kabupaten Kediri.
Wisata kebun bibit yang unik, tidak hanya menyediakan aneka
tanaman buah dan bibit saja, tetapi juga menyediakan tempat yang nyaman untuk
nongkrong semua kalangan mulai anak-anak, remaja dan juga orang tua.
Pengunjung dimanjakan dengan adanya bebera Spot menarik
yaituCafe out door dengan kolam ikan mini malis yang segar dipandang mata.Gazebo
minidan juga terdapat kamar berjajarberbentuk segitiga sebanyak empat buah
dengan desain apikmenjadi tempat yang menarik untuk foto Selfi.
Pengunjung bisa menikmati makanan di gazebo dengan suasana
asri ala pedesaan karena berada di tengah pelataran bibit. Lebihasyik lagi,
bisa menikmati durian segar dengan cita rasa manis dan legit.
[Ustadz aku sudah di lokasi. Duduk di gazebo paling utara]
pesan What'sApp dari Fara masuk pada ponselnya.
[Tunggu sebentar ya. Sudah di parkiran] balasnya.
Ustadz Zaki mematikan mesin mobil dan bergegas keluar karena
merasa tak enak membuat Fara menunggu.
“Babang sayang tunggu dulu, mau kencan sudah ganteng masak
bau GPU,” goda Yuni sambil tertawa.
“Oh iya, lupa.”
Setelah memakai cairan wangi dirinyamerapikan rambut di
spionmobil dan juga bajunya. Yuni mengamati tingkah laku abangnya dengan saksama.
“Begini ya kalo babang Ustadz lagi jatuh cinta. Ngaca terus
kayak Emak-Emak mau foto ama bang Sandi Uno aja.”
Yuni memang jahil. Dia paling suka menggoda abangnya yang
selama ini selalu bersikap cuek dengan gadis tiba-tiba jatuh cinta.
“Kamu belum merasakan jatuh cinta. Makanya meledek gitu.
Sudah ayo keluar.”
Kakak beradik itu menuju tempat Fara, di gazebo paling Utara
yang terletak di pelataran pohon bibit.
“Assalamualaikum,” sapa Ustadz Zaki dan adiknya.
“Waalaikum salam,” jawab Fara sambil menoleh dan meletakkan
gawainya.
Ustadz Zaki menyatukan kedua tangan sebagai tanda
bersalaman.
“Kenalkan ini adikku Yuni.”
Yuni pun segera bersalaman dan memeluk Fara. Kini mereka
berbincang-bincang dengan saling berhadapan. Ustadz Zaki yang duduk di samping adiknya
hanya mendengarkan, karena ingin mereka saling akrab lebih dulu.
Melihat Fara walau hanya sekilas hatinya semakin bergetar. Kerudung
ungu dengan gamis longgar motif bunga yang senada membuat wajahnya terlihat
semakin ayu.
“Mas, Yuni mau jalan-jalan sekalian pesan makanan ya, kalian silakan ngobrol, Mas Zaki sama mbak Fara mau makan apa?,” tanya Yuni dengan menyodorkan
buku menu pada keduanya.
“Kamu di siniaja Yun, kalo mau pesen biasanya manggil mas
nya yang jaga,” ucap Ustadz Zaki sambil memegang lengan adiknya.
Gemetar jemarinya dirasakan oleh Yuni. Dirinya yang mengerti
bahasa tubuh abangnya menahan tawa dan menuruti.Ada aku aja grodi sampai gemetar
apalagi kalo udah nikah dan hanya berdua di kamar pengantin. Gumam jahil adik
perempuan itu.
“Fara bagaimana kabarmu sekeluarga? Ibu sehat?,” tanya
Ustadz Zaki.
“Alhamdulillah, semuanya sehat.”
“Maafkan ibuku ya, kemarin menemuimu. “
“Enggak papa. Aku mengerti Bu Fatimah,” jawab Fara dengan
tersenyum.
Begitulah Fara. Kalem, sabar dan lembut. Tidak ada raut
marah sedikit pun pada Bu Fatimah dan sifatnya yang jujur membuat Ustadz Zaki
semakin meleleh.
“Fara aku tulus mencintaimu. Aku ingin membangun rumah
tangga denganmu. Pertama kali ibu menolakmu, mataku berusaha melupakanmu, tapi namamu
masuk begitu saja ke hatiku tanpa terkendali karena kamu cinta pertamaku.”
Gadis itu hanya diam karenaingin mendengarkan semua isi hati
lelaki yang mencintainya itu.
“Fara kita berjuang bersama ya, untuk mendapatkan restu ibuku,”
ucap Ustadz Zaki penuh kelembutan.
“Tapi aku hanya gadis biasa. Aku tidak sepadan denganmu. Masih
banyak wanitayang lebih baik dariku. Jika hubungan ini dilanjutkan, ibunya
Ustadz akan semakin sakit. Aku membuat putranya tidak berbakti.”
Ustadz Zaki terdiam beberapa saat. Yuni yang sedari tadi diam
menikmati lezatnya tahu petis hangat mulai tertarik untuk menyimak.
“Fara, ibu menolakmu bukan karena alasan syariat. Ketika
laki-laki sudah mempunyai keinginan untuk menikah dan sudah menemukan calon istri
yang shalehah, seiman seagama, orang tua tidak bisa melarang karena menikah itu
kebutuhan pribadi, kebutuhan syahwat
yang tidak bisa dipenuhi oleh ayah dan ibu kecuali calon pasangan. Bahkan
disarankan orang tua segera merestui agar pintu halal terbuka seluas-luasnya dan
pintu haram karena maksiat tertutup serapat-rapatnya. Kita hanya perlu berjuang
dengan santun dan lembut agar ibu tidak terluka.”
Fara masih terdiam. Gerimis membasahi bumi. Menemani suasana sejuk
hati Ustadz Zaki yang berusaha meyakinkan bidadari pujaan hati.
“Fara, ibu tidak membencimu.Beliau hanya butuh waktu untuk
mengenalmu lebih dekat.”
Takut dan ragu masih bersarang di hati Fara. Gadis itu
khawatir jika karena penantiannya malah menyakiti hati seorang ibu yang telah
melahirkan Ustadz Zaki dan juga takut dirinya terjebak dalam perbuatan maksiat lagi.
“Apa boleh jika seorang gadis menunggu orang tua calon
laki-laki merestui?, tanya Fara dengan lugu.
“Boleh,asalkan menanti dengan Iman. Dengan menjaga pandangan
dan hawa nafsu, bagaimana Fara?” tanya Ustadz Zaki.
Suasana kembali hening. Lelaki Shaleh, penyayang pada sosok Ibu mencintaiku dengan tulus. Dia mengerti hukum agama, Insyallah tidak akan berani menyentuhku sebelum halal. Aku memang mencintainya dan juga butuh sosok imam seperti dirinya.Ya Allah Bismillah. Ku niatkan
ini sebagai tirakat menuju ibadah terlama, pernikahan. Gumam Fara dalam hati.
Kemudian dia mengangguk sebagai jawaban.
“Alhamdulillah ... “ cetus bahagia Yuni yang juga menunggu
jawaban dengan harap-harap cemas.
Rintik gerimis menjadi saksi di sisa waktu Dhuha yang lembut
itu. Ustadz Zaki mendapatkan hati seorang gadis dikasihi. Kini dua hati itu
telah bersatu menuju satu muara. Pernikahan.
“Bismillah ya Ra, kita hadapi bersama.”
Fara pun mengangguk dengan senyum termanisnya. Dua pasang
mata itu saling bertemu sebentar. Dada Ustadz Zaki kembali bergetar. Begitu
juga dengan Fara.
Fara, jangan senyum napa. Jadi pengen mandang terus, tapi
takut dosa. Astaghfirullah hal azim. Ingat pesan abah Zak. Gumam ustadz Zaki dalam hati dengan
menundukkan kepala.
Angin berhembus pelan dan langit cerah kembali,secerah
suasana pasar papringan yang terdapat di bagian belakang kebun bibit. Terdapat
aneka jajanan tradisional yang dijajakan di bawah pohon bambu itu. Klepon,
cenil, lupis, lontong sayur, sawut, Sego jagung kulub dan aneka makanan lainya
menggoda hati Yuni untuk mengunjungi.
Mereka bertiga berjalan menuju pasar, kedua gadis itu
berjalan berdampingan. Sedangkan Ustadz berparas teduh itu berjalan di belakang.
Melihat Ustadz Zaki, sekitar sepuluh Emak-Emak sosialita
yang duduk di gazebo besar untuk arisan bersama menghambur ke arahnya.
Ceramahnya yang ringan dan kekinian, serta parasnya yang
tampan membuat dirinya digandrungi oleh remaja, ibu muda dan Emak-Emak
milenial.
“Assalamu’alalikum Ustadz, Nggak nyangka ketemu di sini. Kami
ini jama'ah nya Ustadz Lo,disini sama pacarnya ya?,” tanya salah satu emak yang
memakai jumpsuite merah.
Ustadz Zaki menjawab salam dengan menyatukan kedua tangan.
Saya disini dengan adik. Jawabnya dengan menunjuk Yuni dan Fara.
“Wah adiknya cantik-cantik,” sahut emak yang memakai rok kotak-kotak
warna krem.
“Ustadz kita foto bareng yuk, mumpung Ustadz nggak pakai baju
dinas, jadi kelihatan tambah keren, tujuannya baik ko, anak saya biar semangat
ikut pengajian,” bujuk Emak yang memakai setelan baju warna merah.
“Baju dinas?” sahut Yuni penasaran.
“Iya, biasanya kan pake sarung,” jawaban kompak penuh
semangat dari Emak-Emak membuat tawa pecah dan suasana semakin meriah.
Segerombol ibu-ibu yang memakai pakaian warna senada itu dengan
cepat langsung pasang badan sehingga Ustadz Zaki yang berniat ingin mlipir
tidak bisa. Dan kamera pun tidak bisa dihindari. Fara dan Yuni tergeser para
sosialita yang lagi heboh berpose. Kini kedua gadis duduk di tangga Gazebo
dekat lokasi foto.
Setelah beberapa kali jepretan, Ustadz Zaki pamit untuk
melanjutkan jalan-jalan menuju pasar Papringan. Mereka menikmati jajanan
tradisional.
Jam menunjukkan pukul 01.00. Pak Mahfud belum sampai
dirumah. Merasa bosan akhirnya Bu Fatimah Stalking Facebook putrinya. Tidak ada hal
yang perlu dikhawatirkan. Kemudian menuju Facebokk Ustadz Zaki
Terlihat foto-foto putranya dengan para sosialita itu karena
Facebook Ustadz Zaki ditandai. Terlihat pula Fara dan Yuni terjepret duduk di tepi
Gazebo.
Tubuhnya menghangat. Darahnya mendidih, kecewa karena merasa
anak-anaknya tidak jujur padanya.
"Ternyata kesana bertemu dengan Fara. Zaki berani kamu sama Ibuk, awas kamu," Gumamnya dengan bersungut-sungut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar