KETIKA USTADZ JATUH CINTA
#Part_2
Oleh: Aning Miftakhul Janah
“Mbk maaf ya, karena pendidikanku dirimu harus bekerja.
Faris boyong saja ya, Ndak usah mondok. Sekolah disini nyambi kerja. Ucap Faris
dengan mata berkaca-kaca.”
Jemari Fara bergerak, mengusap lembut pipi adiknya kemudian
mencubit.
“Si comel ngomong apa ini. Faris itu laki-laki, calon imam.
Kamu harus tetap mondok, nimba ilmu agama sebanyak-banyaknya agar kelak bisa
membimbing istrimu. Nggak usah mikir macem-macem. Sekolah yang bener. Buat mbk
mu dan ibuk bangga.” lirih Fara pelan.
Agar kamu tidak seperti mbk. Gumamnya dalam hati.
“Ibu juga minta maaf ya nak. Karena ibu sering sakit kamu
harus berjuang sendiri mencukupi kebutuhan rumah ini. Orang tuanya menolak
mungkin karena kamu tidak bisa menjadi ibu rumah tangga.”
“Ibu jangan minta maaf. Apa yang Fara berikan belum
sebanding dengan pengorbanan ibu. Haqul yakin masih ada laki-laki yang tepat
untukku, tapi aku tidak yakin bisa menemukan kalian pada diri orang lain.
Kalian segalanya bagiku.”
Bu nur memeluk erat putrinya. Tangisnya pecah. Hatinya
tercabik melihat putrinya ditolak.
“Udah hempaskan aja mbk ... cari yang lebih ganteng,” ucap
Faris sambil tertawa.
“Comelnya kambuh lagi,” tukas Fara dengan melempar bantal
sambil tersenyum.
Bu Nur hanya tersenyum melihat tingkah putra putrinya.
Dalam diam Fara menelan sendiri luka hatinya. Karena tidak
ingin ibunya bersedih. Menjadi purnama bagi keluarga, adalah hal yang selalu ia
lakukan.
°°°
Suasana dingin menyelimuti ruang tamu rumah Ustadz Zaki. Bu
Fatimah diam membatu. Sementara pak Mahfud dan putranya menunggu penjelasan
darinya.
“Buk sekarang sudah dirumah, apa alasan menolaknya?,” tanya
Ustadz Zaki dengan nada melas.
“Yang pertama, Fara pernah pacaran. Dia sudah diboncengi
Alfan kemana-mana. Bukanya ibu suudzon, waktu itu dia belum berjilbab.
Bagiamana kalo Alfan tidak kuat iman kemudian menyentuhnya? Lebih baik cari
gadis lain yang belum pernah berhubungan dengan laki-laki.”
“Fara sudah berhijrah buk. Semua orang punya masa lalu. Bukankah
menjadi ladang amal bagi Zaki ketika bisa membimbingnya?”
“Membimbing tidak harus menikahi.” Tukas Bu Fatimah.
Fara memang sudah terjamah. Tapi aku bisa menerima. Ternyata
firasat seorang ibu memang tajam. Gumam
Ustadz Zaki dalam hati.
“Trus apalagi buk?,” tanya pak Mahfud yang duduk disebelah
sebelah putranya.
“Fara bekerja di pabrik rokok, ya tujuanya baik untuk
pendidikan adiknya, tapi seharusnya dia mencari pekerja lain bukannya bekerja
di pabrik yang menelurkan produk mudhorot.
Zaki itu Sudah mapan. Lebih baik cari wanita rumahan yang
bisa dirumah, mendedikasikan dirinya untuk anak dan suami. Apa ibu salah?” seru
Bu Fatimah.
“Ibu nggak salah. Tapi ita nggak tau kesulitan orang. Bisa
jadi nggak ada pekerjaan lain, jadi terpaksabekerja disitu,” jawab Pak Mahfud.
“Abah jangan membela terus. Seharusnya anaknya di nasehati
agar tidak salah pilih.”
Malam yang dingin. Sedingin suasana dan hati Bu Fatimah. Dadanya
bergejolak, tidak rela jika putranya hidup bersanding dengan gadis yang pernah berpacaran.
“Buk Insyallah Zaki tidak salah pilih. Dia wanita yang baik
dan lembut pada siapa pun. Bahkan ikhlas menyekolahkan beberapa anak yatim agar
tidak putus sekolah.”
“Sudah. Apapun alasanmu ibu tidak ridho kamu menikah dengannya.
Nuwun Sewu bah, ibu masuk dulu ke kamar,” kata Bu Fatimah sambil berlalu.
Anggukan Pak Mahfud sebagai tanda siurnya mengijinkan
istrinya pergi kekamar.
“Sabar ya Le, kalo ibumu sudah meninggi seperti itu lebih baik
kamu diam.”
Ustadz Zaki hanya mengangguk dan tertunduk menyesali
keputusan Ibunya.
“Le kamu yakin sekali apa sudah shalat istikharah?” tanya
Pak Mahfud.
“Belum Bah, tapi Zaki sudahmantab.”
“Tapi Ibumu ngeyel, biasanya firasat seorang ibu itu benar.
Coba kamu fikiran.”
Mendengar kalimat abahnya, lelaki bertubuh gagah itu
termenung.
Tidak hanya berusaha mengerti keinginan putranya, kepala
keluarga itu juga berusaha mencari jawaban atas kegundahan istrinya.
“Terus solusinya prioun
Bah?.”
(Terus solusinya bagaimana Bah?)
“Kita minta tolong Kiai Hanan saja ya, sebaiknya besok pagi.
Kamu lagi baper, biasanya shalat mau shalat 10 kali pun yang terlihat hanya
orang di kasihi. Jadi biar orang lain saja. Besok kita Sowan.”
Tenang dan bijaksana. Sikap yang dimiliki pak Mahfud sebagai
kepala rumah tangga. Dirinya selalu berusaha menjadi penengah agar bisa menjaga
perasaan istri dan putranya.
“Nggih Bah,” Ustadz Zaki pasrah dan manut.
“Ya sudah, ayo Riyadhohan sama Abah, biar kamu nggak galau
terus.”
°°°
Tepat pukul 8.30 WIB mobil pak Mahfud masuk melewati pintu
gerbang pondok pesantren Fathul Ulum Kwagean, Kepung. Salah satu pondok yang
cukup besar di Kabupaten Kediri, asuhan Kaiai Abdul Hanan Maksum. Sahabat Pak
Mahfud.
“Assalamu’allaikum kang Hanan,” Sapa Pak Mahfud.
“Walaikum salam,” jawab Kiai Hanan sambil memeluk sahabatnya.
Ustadz Zaki pun salim penuh takzim.
“Bagaimana kabarnya kang Mahfud?”
“Alhamdulillah baik, semuanya sehat Wal Afiat.”
“Jadwal dakwahnya masih lancar kang?,” tanya Kiai Hanan pada
Pak Mahfud dan Ustadz Zaki.
“Alhamdulillah, mohon do'anya. Semoga berkah.”
“Iya, sampean selalu ku do’akan semoga sanggup mengemban
amanah dakwah.”
”Begini kang, kedatangan kami kemari dalam rangka
silaturahim. Yang kedua ingin minta tolong, Zaki jatuh hati pada seorang gadis.”
“Oh jadi sudah punya pujaan hati. Dulu Zaki itu salah santri
ku yang paling lurus. Blas nggak pengen melirik santriwati. Ternyata sekarang
sudah bisa jatuh cinta,” puji Kiai Hanan.
“Sekarang nalurinya sebagai seorang lelaki sudah tumbuh
kang,” jawab Pak pak Mahfud sambil tertawa.
Ustadz Zaki hanya tersenyum.
“Ya sudah tulis namamu dan nama gadisnya di kertas ini,”
Kiai Hanan menyodorkan selembar kertas ke atas meja.
Diraihnya kertas dan bolpoin kemudian membubuhkan namanya, Ahmad
Muslim Muzaki. Farahita.
“Sebentar ya kang, saya masuk dulu.”
Kia Hanan masuk menuju kamar untuk melaksanakan shalat
Istikharah.
Dua puluh menit sudah berlalu. Sang Kiai yang dinanti-nanti
keluar dari kamar menuju ruang tamu dimana Ustadz Zaki dan Abahnya menunggu.
“Jangan tegang Zak, Isnyallah baik untuk dilanjutkan.
Disegerakan ya. Niat baik jangan ditunda. Mengingat usiamu sudah cukup. Semoga
dilancarkan.”
Kiai Hanan mengangkat kedua tangan, menengadah. Melafalkan
Do’a untuk Ustadz Zaki. Pak Mahfud dan putranya pun juga menengadahkan tangan
mengamini.
Istikharah Kiai Hanan merobohkan kerisauan Hati Ustadz Zaki.
Dadanya terasa lapang dan semakin mantap memperjuangkan cintanya.
Gadis Ayu, baik rupa maupun hatimu. Tunggu Kang Mas mu ini.
Sekuat tenaga aku akan memperjuangkan mu. Gumamnya dalam Hati dengan senyum
simpul di bibirnya.
°°°
Tring..
Suara gawai pak Mahfud berbunyi. Terbaca di layar ponsel
nama istrinya.
“Asslamu’alakikum buk.”
“Waalalikum salam. Abah dimana? Ada tamu agung, Ustadz
Jazuli dari Mojo, sambang.”
“Oh iya, Abah sudah dekat rumah. Akan segera pulang.
“Ada apa Bah?,” tanya putranya.
“Ada tamu, Ustadz Jazuli sambang.”
“Zaki turun di MTs. aja Bah, setelah ini ada jam ngajar.”
Setelah menurunkan putranya di gerbang MTs. Al Ikhlas, Yayasan
pendidikan terbesar di kota Pare milik Pak Mahfud, dirinya melakukan mobil
menuju rumah menemui tamu agungnya.
“Bagaimana kabarnya kang?” tanya pak Mahfud.
“Alhamdulillah, sehat kang,”jawab Ustadz Jazuli sambil
memeluk Pak Mahfud.
“Tadi saya mau ke Jombang, mumpung lewat Pare jadi sekalian
silaturakhim dan juga ada yang ingin saya bicarakan.”
“Ada apa kang?” tanya Pak Mahfud.
“Mengenai putra putri kita, semoga Allah menjodohkan
mereka.”
Gusti Allah, baru saja aku mengantar putraku ke ndalem Kiai
Hanan. Dan sekarang Ustadz Jazuli mengajak besanan. Jika aku menerima, Zaki
bisa kecewa. Gumam-laki berperawakan tinggi besar itu.
“Begini Kang, saya tidak bisa memberi keputusan karena harus
tanya pada yang bersangkutan. Biar bagaimanapun anak kita yang menjalani,” jawab
pak Mahfud dengan pelan dan penuh senyum.
“Setuju Kang. Kita memang harus tanya dulu pada putra putri
kita.”
Pembicaraan pun beralih. Cara-cara memajukan pesantren dan
pendidikan Islam menjadi topik diskusi ringan mereka, sekedar untuk melepas
rindu karena sudah lama tidak bertemu.
°°°°
“Bah kita seperti dapat durian runtuh ya, dapat lamaran dari
ustadz besar.Tadi mengapa tidak langsung diterima saja lamaran Ustadz Jazuli?,”
tanya Bu Fatimah dengan penuh semangat.
“Ya Abah harus tanya dulu sama Zaki. Yang menjalani kan anak
kita. Bukan Abah. Kecuali kalo ibu mengijinkan Abah nikah lagi,” goda pak
Mahfud.
“Abah,” seru Bu Fatimah sambil menepuk punggung suaminya.
“Waalaikim salam.. itu Zaki sudah datang. Sini duduk disamping
Ibu,” ucap Bu Fatimah yang mendengar ucapan salam dari putranya.
Lelaki berkulit putih itupun duduk di samping ibunya setelah
bersalaman.
“Le, lihat ini ada tiga bidadari, yang ini Alina, putrinya
Kiai Jazuli. Yang berkerudung biru namanya Zahra putrinya Ustadz Kholil. Yang terakhir
Salma, putrinya Gus Munib. Semuanya cantik. Putrinya Ustadz. Pergaulanya juga bagus,
belum pernah pacaran. Nasabnya juga baik. Istikharah ya Le, pilih salah satu.”
Matanya memandang satu persatu foto tersebut. Kepalanya
terasa pening hingga tangannya memegang dahi. Tidak ada satupun yang
menggetarkan hatinya.
“Maaf Bu, Zaki belum kepikiran meminang gadis lain.”
Lirihnya pelan.
“Karena Fara?” tanya Bu Fatimah dengan nada kesal.
Zaki terdiam. Menyadarkan punggungnya di sova empuk berwarna
merah hati itu untuk melepas penat atas tekanan ibunya.
“Zaki, kamu harus memilih salah satu demi kebaikan mu
sendiri.”
“Buk, anaknya jangan dipaksa. Zaki sudah besar, dia berhak
memilih calon pendampingnya sendiri. Kita sebagai orang tua hanya mendo’akan,”
sahut Pak Mahfud.
“Tapi mereka lebih baik dari pada pilihan anak kita Bah.
Seharusnya Zaki senang mendapatkan istri anak Ustadz. Ibu mana yang tidak
bahagia melihat putranya bersanding dengan orang yang tepat,” lirih Bu Fatimah.
“Buk, Fara memang bukan seorang Ning, atau putri Ustadz.
Memang dia memiliki masalalu kurang baik, tapi jiwanya luar biasa. Hatinya peka
merasakan riak-riak kehidupan hingga dirinya cukup ringan membantu orang lain. Ibu,
coba mengenalnya lebih dekat.”
“Zaki, hatimu sedang dibutakan oleh cinta,” seru Bu Fatimah dengan
nada meninggi.
“Sudah. Azan dhuhur berkumandang. Berhenti berdebat,
sekarang kita sholat,” seru Pak Mahfud.
Begitulah lelaki paruh bawa berwajah teduh lagi tampan itu.
Selalu bisa melerai tanpa menyakiti salah satu perasaan orang-orang yang
dikasihi.
Fara melipat mukena dan memasukkan Kembali kedalam tas.
Dirinya baru saja selesai melakukan sholat di masjid pabrik tempat ia bekerja.
Hatinya masih kecewa, tapi apalah daya. Berusaha ikhlas menjadi satu-satunya
pilihan.
Tik tok tik tok
Suara gawainya berbunyi. Terlihat di layar datar persegi itu
nomor tidak dikenal.
“Assalmu’alaikum,” jawab Fara.
“Waalikum salam, Fara saya Bu Fatimah, ibunya Zaki. Nanti
jam tiga sore kamu bisa menemui ibu di resto Sribu Asri? Dekat dengan tempat
kerjamu kan.”
Deg, jantung Fara berdebar. Apa gerangan yang membuat Bu
Fatimah ingin menemuiku? gumamnya dalam hati.
“Iya Bu bisa. Insyallah Fara datang.”
Jam menunjukkan pukul 14.40. Gadis berkulit putih dan
bermata coklat itu berdiri di tengah keramaian pedagang kaki lima yang berderet
di depan pabrik. Matanya berkelana, mencari becak karena hari ini dia tidak
membawa kendaraan.
“Pak bisa narik?, Tanya Fara pada lelaki paruh baya yang
menahan kantuk di atas becak.
“Bisa mbk. Silahkan duduk,” jawab Pak suyut dengan penuh kegirangan.
Rasa penasaran yang memenuhi dadanya membuat dirinya tidak
menikmati perjalanan. Hanya butuh waktu sekitar 10 menit, kini mereka sudah
sampai di resto Sribu Asri.
Fara pun turun. Mencari HP untuk menghubungi Bu Fatimah,
tangannya terus merogoh ke bagian dalam tapi tidak menemukan.
Terdengar Pak suyut berbicara di telepon dengan seseorang.
“Ayam bakar?,” ucapnya sambil merogoh uang di kantong celana.
Terlihat uang sepuluh ribu.
“Besok ya, Mbah kung belikan, sekarang warungnya tutup.”
Sayup-sayup telinga Fara mendengar suara anak kecil yang
sedang kecewa. Dengan raut wajah bersalah, lelaki paruh baya itu menutup
pembicaraan dan memasukkan ponsel Nokia Jadul itu kedalam saku celananya.
“Pak tunggu saya dulu ya, nanti sekalian antar kerumah.
Ongkosnya saya tambahi.
“Siap mbk.” Pak suyut tambak bahagia.
Gadis bertubuh tinggi dan berbadan tipis itu segera menuju
meja kasir yang terletak di pintu keluar resto.
“Mbak pesan satu cangkirkopi,antarpada bapak becak itu.
Sekalian tanya jumlah anggota keluarganya. Nanti bungkuskan nasi dan ayam bakar.
Tagihannya saya yang bayar. Kalo ditanya dari siapa, bilang saja yang memberi
tidak mau disebutkan namanya.”
Setelah panjang lebar menjelaskan, Fara memesan minum untuk dirinya
dan berjalan menuju saung sebelah Utara.
Tanpa dia sadari, Bu Fatimah berdiri di belakang dengan
jarak empat meter. Cukup jelas untuk mendengar perbincangan antara Fara dan
kasir. Hatinya sedikit tersentuh, tapi tidak lantas melulihkan hatinya.
“Assalamu’alaikum Fara,” sapa Bu Fatimah.
“Waalaikum salam. Silakan duduk Bu.”
“Fara langsung saja ya. Ibu ingin minta bantuan sama kamu.”
“Apa yang bisa saya bantu?,” tanya Fara.
“Bantu Zaki melupakanmu,” tukasnya dengan penuh ketegasan.
Deg. Jantungnya bergetar hebat. Wanita cantik paruh baya itu
seolah menancapkan belati tajam pada hatinya. Membuat gadis itu terdiam
merasakan perih di dadanya.
“Fara, jangan diam. Masih banyak yang ingin ibu bicarakan,”
serunya.
Bersambung...
Nantikan. Episode berikutnya.
Happy reading..
~Salam hangat dari penulis~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar