KETIKA USTADZ JATUH CINTA
#Part_1
Oleh: Aning Miftakhul Janah
========
“Bibirmu masih perawan?”
Pertanyaan singkat itu mengoyak hati Fara. Memorinya melesat
menembus waktu menuju dua tahun yang lalu, bibirnya pernah sekali disentuh oleh
bibir seorang laki-laki.
Dalam taaruf itu Fara menyadari betul tak boleh ada yang ditutupi
karena kebohongan tidak akan pernah bisa menjadi fondasi sebuah hubungan.
Apalagi hubungan suci pernikahan.
Dia laki-laki Sholeh lagi baik. Rasanya Tidak adil jika aku
membohonginya. Gumamnya dalam hati.
Gadis berparas ayu itu hanya menggeleng sebagai jawaban. Laki-laki
yang baru mengenalnya 6 bulan yang lalu menghela nafas panjang sambil
menundukkan kepala. Suasana menjadi hening.
“Dua tahun yang lalu aku pernah berciuman sekali dengan
pacarku. Walau ciuman seperti nyerempet dan berlangsung kilat sekitar 1 detik" Bibirnya Kelu. Tetapi dia harus jujur.
“Sudah berapa kali pacaran?.” Tanyanya lagi.
“Baru sekali.” Jawab Fara.
“Kalian hanya ciuman? Maaf jika pertanyaanku tidak sopan.”
Hatinya semakin getir tapi Fara mengerti pertanyaan itu,
karena pada dasarnya setiap laki-laki pasti menginginkan pasangan hidup yang
terbaik.
“Tidak. Kami juga pernah dua kali berpegangan tangan.
Pertama saat ayahku meninggal, dia memegang tanganku untuk menguatkan. Yang
kedua ketika aku diterima kerja dia memberi selamat dan semangat,” jawab Fara.
Zina memang beragam. Mulai dari zina tangan, zina mata, zina
bibir, zina hati hingga zina besar yaitu melakukan hubungan suami istri.
Matanya menatap Khimar dan gamis yang membalut tubuh Fara.Terbesit
rasa heran, ternyata gadis yang memakai Khimar panjang dan gamis longgar yang duudk
di depannya itu pernah terjamah.
“Khimar dan gamis ini yang kini menjadi identitas setelah
hijrahku 2 tahun yang lalu,” kata Fara yang mengerti tatapan pria itu.
Ustadz Zaki mendongakkan kepala. Dia mulai tertarik
melanjutkan percakapan itu.
“Sekarang kemana pria itu?” dia menanyakan keberadaan pacarnya.
“Dua tahun yang lalu Allah telah memanggilnya lewat
kecelakaan tragis. Dia kembali ke haribaan tepatnya satu minggu sebelum
pertunangan kami.”
“Innalillahi wa inna ilahi rojiun ... jadi waktu itu kalian
mau menikah ...” sahutnya.
“Iya. Tapi Allah
berkendak lain. Sepeninggalnya aku kehilangan harapan. Hijrahku waktu itu
sebagai tempat berlabuh sekaligus sebagai pengobat hatiku yang kalut. Tentunya
juga niat karena Allah.”
Lelaki berwajah teduh itu menyimak dengan seksama kalimat
Fara.
“Aku sudah menjawab pertanyaanmu. Tangan dan Bibirku memang
sudah terjamah. Tapi bisa kupastikan aku masih perawan. Begitu pula dengan
hatiku”.
“Kenapa kamu jujur?,” tanya ustadz Zaki.
“Bukankah laki-laki Sholeh seperti dirimu berhak mendapatkan
wanita yang Sholehah pula?,” mendengar jawaban itu bibirnya tersenyum tipis.
“Kamu tidak takut aku menyebarkan tentang dirimu pada
teman-temanku?,” tukasnya.
“Ustadz, aku hanya berhusnudhon. Bagaimana mungkin seorang
ustadz bisa membuka aib orang lain. Aku percaya padamu.”
Pemilik berwajah tampan itu terdiam cukup lama. Suasana
menjadi hening kembali.
“Ustadz aku wanita yang masih jauh dari Sholehah. Waktu itu aku
masih labil dan jauh dari agama hingga aku tak bisa menjaga marwahku sebagai
seorang gadis. Jika kamu menghentikan taaruf ini, aku bisa mengerti. Kamu berhak
mendapatkan wanita yang lebih baik dariku."
“Besok orang tuaku akan kesini. Kamu siap?.”
Fara terperangah. Matanya membulat. Detak jantung berdegup
kencang.Bagaimana mungkin seorang ustadz menerimaku? Bahkan salah satu
mahkotaku sudah terjamah. Banyak orang bercerita dirinya terlalu selektif
mencari pasangan hingga masih perjaka di usianya yang ke 29 tahun. Gumamnya
dalam hati.
“Bagaimana?” Ustadz Zaki membuyarkan lamunan paras ayu itu.
“Ustadz yakin? Bukan kah shalat istikharah dulu lebih baik?.”
“Aku sudah yakin. Jika Fara ingin istikharah dulu silahkan.
Aku memberimu waktu,” jawabnya sambil tersenyum.
“Sikahkan besok ustadz silaturahim lagi kesini dengan orang
tuamu.”
Kemantapan bersarang di hatinya. Gadis itu memang butuh
seseorang yang bisa membimbing agar hijrahnya bisa Istiqomah sepanjang hayat.
°°°°°
Hari berganti begitu cepat. Malam ini Ustadz Zaki dan orang
tuanya akan datang. Fara menemani ibunya di dapur menyiapkan Snack untuk
suguhan.
“Ibuk senang dan lega. Akhirnya kamu dilamar seorang ustadz
yang tawadhu dan baik.”
“Ah mungkin mbk Fara menerima karena dia ganteng,” goda
Faris, adik lelaki Fara.
“Jangan sok tau,” gadis itu mengacak rambut Faris sambil
tertawa.
“Aku tau seleramu mbk, “ sahutnya dengan gelak tawa.
“Dasar comel... “ tukas Fara sambil memukul kepala Faris
dengan terong.
“Sudah sudah.. nggak siang nggak malam kalo ketemu kalian
bertengkar terus. Faris jangan goda mbk mu lagi,” Bu Nur melerai dengan pelan.
“Lah memang mbk gitu ko buk ... hhhhh,” tawanya semakin
kencang.
Bel rumah berbunyi. Mengentikan tawa canda mereka. Bu Nur
segera membuka pintu. Ternyata Ustadz Zaki dan kedua orang tuanya telah datang.
“Assalamu’alaikum, “ ucap satu keluarga itu.
“Waalaikum Salam, Monggo masuk. Silahkan duduk,” jawab Bu
Nur dengan senyum mengembang di bibirnya.
“Kedatangan kami kesini menindaklanjuti ta'aruf putra kami. Dia
sudah mantab memilih putri ibu untuk menjadi pendamping hidupnya,” kata lelaki
paruh baya yang menjadi abah Zaki.”
“Alhamdulillah. Putri saya juga sudah menerima.”
“Sebagai orang tau Zaki, kami juga ingin kenalan dengan
putri ibu”
“Tentu pak.. saya akan memanggil Fara” jawab Bu nur.
Wanita cantik bertubuh tinggi itu menuju ke dapur untuk
memanggil putrinya. Fara dan Faris dari tadi mengintip di balik pintu dapur.
“Nduk teh nya sudah siap?”
“Sudah Bu.”
“Ya Sudah, sekarang ayo kedepan. Bawa tehnya ya. Calon bapak
dan ibu mertuamu pengen kenalan.”
“Gantengnya kan mbak,“ goda Faris lagi sambil tertawa.
“Faris.. sudah. Kamu juga ikut. Biar mereka juga kenal sama
kamu.”
Farispun menuruti perintah ibunya sambil membawa nampan berisi
brownies. Kini mereka bertiga telah bertatap muka dengan keluarga Zaki. Faris
terlebih dahulu Salim penuh takzim dengan Zaki dan kedua orang tuanya.
Fara yang selesai meletakkan teh di atas meja juga bersalaman
dengan Bu Fatimah, Ibunda Zaki.Wanita paruh baya dejavu. Ingatannya berbicara
pertemuannya dengan Fara dua tahun yang lalu.
“Kamu Fara yang dulu pacarnya Alfan kan?,”
Pertanyaan Bu Fatimah mengagetkan semuanya.
Gadis itu mengangguk.
“Ibu tau saya?,” dia memberanikan diri untuk bertanya.
“Iya. Bagimana ibu lupa sama kamu. Alfan itu kan keponakan
ku. Waktu itu Zaki tidak tahu karena dia masih kuliah di Kairo.”
Terpancar wajah kecewa dari Bu Fatimah. Abah Zaki pun juga
kaget.
Ternyata pacar nya yang meninggal itu adalah Alfan sepupuku
sendiri. Zaki bergumam dalam hati.
Sesaat suasana menjadi hening. Kemudian Bu nur mencairkan
suasana dengan mempersilahkan mereka menikmati teh dan brownies yang tertata
rapi di piring.
“Kamu kerja dimana nduk?,” tanya Pak Mahfud.
“Saya kerja di Pabrik rokok Apace Bah sebagai Manager Pemasaran.”
“Wah jabatan yang bagus nduk,” Pak mahfud tampak bangga.
“Tapi nanti setelah kalian menikah, kamu akan berhenti
bekerja dan menjadi ibu rumah tangga kan?,” sahut Bu Fatimah.
Gadis itu terdiam. Ibu dan adiknya menoleh secara bersamaan
ke arah Fara.
“Maaf Bu, untuk hal itu saya tidak bisa menjanjikan. Masih
ada kewajiban yang harus saya tunaikan. Adik saya masih Aliyah, dia juga
mondok. Sebelum dia menjadi sarjana saya tidak bisa berhenti bekerja karena pendidikannya
menjadi tanggung jawab saya.”
Faris dan ibunya tertunduk. Fara memang Soko guru bagi
keluarganya semenjak ayahnya meninggal 3 tahun yang lalu. Tubuh bu Nur yang
ringkih membuat gadis itu tidak memperbolehkan ibunda bekerja.
Bu Fatimah ijin mengajak suaminya bicara diluar. Zaki masih
di dalam tampak bingung. Faris, Bu nur dan lelaki itu saling pandang walau ketiganya
diam. Fara hanya menunduk. Kemudian Adik laki-laki itu mencairkan suasana.
“Monggo diminum mas, browniesnyajuga dicipi. Mbak sendiri lo
yang bikin. khusus untuk mu. hehehe.”
Ustadz Zaki segera mengambil sepotong brownies.
“Wah bener, enak rasanya lembut, manisnya juga pas,” kata
Ustadz Zaki.
“Cie... cie... “ goda Faris sambik melirik Fara.
Wajah ayu itu kini memerah. Dia tersipu malu.
Kedua orang tua Faris datang dan duduk kembali. Pak Mahfud
membisikkan sesuatu di telinga Zaki. Sontak membuat wajahnya kaget dan
termangu.
“Bu Nur dan nak Fara, mohon maaf sepertinya ta'aruf ini untuk
sementara tidak bisa dilanjutkan. Kami tidak bermaksud untuk mempermainkan,
tapi memang ada sesuatu yang membuat kami harus berfikir ulang.”
“Maaf, kalo boleh tau sesuatu apa yang membuat bapak ragu?” tanya
Bu Nur dengan nada melas.
“Ibu,” ucap Fara pelan sambil sedikit menggelengkan kepala,
memberi kode untuk membatalkan pertanyaan.
“Maaf pak, sebagai ibunya Fara tentu saya ingin tau. Tapi
jika bapak tidak berkenan untuk menjawab saya bisa menerima.”
“Saya bisa mengerti Pak. Karena untuk melanjutkan atau
menghentikan ta'aruf ini memanglah hak keluarga bapak,” sahut Fara dengan
senyum tanpa menunjukkan rasa kecewa.
“Baiklah kalo begitu. Kami mohon pamit. Assalamu’alaikum,” tukas
pak Mahfud.
“Waalikum salam. Terimakasih atas silaturahimnya,” jawab Bu
Nur.
Ustadz Zaki yang nampak bingung dengan keputusan orang
tuanya hanya diam terpaku dan ikut pulang.
Mobil merayap keluar dari halaman rumah. Kali ini pak Mahfud
yang menyetir karena hatinya cukup peka merasakan putranya yang sedang gundah
gulana.
“Bah tadi mengapa tiba-tiba membatalkan taaruf?” tanyanya
pelan.
“Tanya ibu Le, Abah juga kurang paham.”
“Fara bukan wanita yang tepat untukmu. Masih banyak wanita
lain yang jauh lebih baik. Sudah lupakan dia.”
“Aku mencintainya buk”
“Kamu bisa menemukan cinta dari wanita lain.”
“Apa sebenarnya alasanya buk? Nggak mungkin kan ibuk menolak
Fara begitu saja.”
Bu Fatimah hanya diam. Suasana menjadi dingin dan kaku.
“Nanti dirumah kita bahas lagi.” Tukas Bu Fatimah.
Aku harus memperjuangkan cintaku. Dia gadis Sholehah yang jujur
dan baik. Dia layakmenjadi pendampingku. Gumamnya dalam hati.
Apa sebenarnya yang membuat Bu Fatimah Tidak menyukai Fara?
Akankah Ustadz Zaki bisa memperjuangkan cintanya yang
menggelora?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar