Kamis, 07 Februari 2019

BIBIRMU MASIH PERAWAN?


KETIKA USTADZ JATUH CINTA
#Part_1
Oleh: Aning Miftakhul Janah
========

“Bibirmu masih perawan?”

Pertanyaan singkat itu mengoyak hati Fara. Memorinya melesat menembus waktu menuju dua tahun yang lalu, bibirnya pernah sekali disentuh oleh bibir seorang laki-laki.

Dalam taaruf itu Fara menyadari betul tak boleh ada yang ditutupi karena kebohongan tidak akan pernah bisa menjadi fondasi sebuah hubungan. Apalagi hubungan suci pernikahan.

Dia laki-laki Sholeh lagi baik. Rasanya Tidak adil jika aku membohonginya. Gumamnya dalam hati.
Gadis berparas ayu itu hanya menggeleng sebagai jawaban. Laki-laki yang baru mengenalnya 6 bulan yang lalu menghela nafas panjang sambil menundukkan kepala. Suasana menjadi hening.

“Dua tahun yang lalu aku pernah berciuman sekali dengan pacarku. Walau ciuman seperti nyerempet dan berlangsung kilat sekitar 1 detik" Bibirnya Kelu. Tetapi dia harus jujur.

“Sudah berapa kali pacaran?.” Tanyanya lagi.

“Baru sekali.” Jawab Fara.

“Kalian hanya ciuman? Maaf jika pertanyaanku tidak sopan.”

Hatinya semakin getir tapi Fara mengerti pertanyaan itu, karena pada dasarnya setiap laki-laki pasti menginginkan pasangan hidup yang terbaik.

“Tidak. Kami juga pernah dua kali berpegangan tangan. Pertama saat ayahku meninggal, dia memegang tanganku untuk menguatkan. Yang kedua ketika aku diterima kerja dia memberi selamat dan semangat,” jawab Fara.

Zina memang beragam. Mulai dari zina tangan, zina mata, zina bibir, zina hati hingga zina besar yaitu melakukan hubungan suami istri.

Matanya menatap Khimar dan gamis yang membalut tubuh Fara.Terbesit rasa heran, ternyata gadis yang memakai Khimar panjang dan gamis longgar yang duudk di depannya itu pernah terjamah.

“Khimar dan gamis ini yang kini menjadi identitas setelah hijrahku 2 tahun yang lalu,” kata Fara yang mengerti tatapan pria itu.

Ustadz Zaki mendongakkan kepala. Dia mulai tertarik melanjutkan percakapan itu.

“Sekarang kemana pria itu?” dia menanyakan keberadaan pacarnya.

“Dua tahun yang lalu Allah telah memanggilnya lewat kecelakaan tragis. Dia kembali ke haribaan tepatnya satu minggu sebelum pertunangan kami.”

“Innalillahi wa inna ilahi rojiun ... jadi waktu itu kalian mau menikah ...” sahutnya.

“Iya.  Tapi Allah berkendak lain. Sepeninggalnya aku kehilangan harapan. Hijrahku waktu itu sebagai tempat berlabuh sekaligus sebagai pengobat hatiku yang kalut. Tentunya juga niat karena Allah.”

Lelaki berwajah teduh itu menyimak dengan seksama kalimat Fara.

“Aku sudah menjawab pertanyaanmu. Tangan dan Bibirku memang sudah terjamah. Tapi bisa kupastikan aku masih perawan. Begitu pula dengan hatiku”.

“Kenapa kamu jujur?,” tanya ustadz Zaki.

“Bukankah laki-laki Sholeh seperti dirimu berhak mendapatkan wanita yang Sholehah pula?,” mendengar jawaban itu bibirnya tersenyum tipis.

“Kamu tidak takut aku menyebarkan tentang dirimu pada teman-temanku?,” tukasnya.

“Ustadz, aku hanya berhusnudhon. Bagaimana mungkin seorang ustadz bisa membuka aib orang lain. Aku percaya padamu.”

Pemilik berwajah tampan itu terdiam cukup lama. Suasana menjadi hening kembali.

“Ustadz aku wanita yang masih jauh dari Sholehah. Waktu itu aku masih labil dan jauh dari agama hingga aku tak bisa menjaga marwahku sebagai seorang gadis. Jika kamu menghentikan taaruf ini, aku bisa mengerti. Kamu berhak mendapatkan wanita yang lebih baik dariku."

“Besok orang tuaku akan kesini. Kamu siap?.”

Fara terperangah. Matanya membulat. Detak jantung berdegup kencang.Bagaimana mungkin seorang ustadz menerimaku? Bahkan salah satu mahkotaku sudah terjamah. Banyak orang bercerita dirinya terlalu selektif mencari pasangan hingga masih perjaka di usianya yang ke 29 tahun. Gumamnya dalam hati.

“Bagaimana?” Ustadz Zaki membuyarkan lamunan paras ayu itu.

“Ustadz yakin? Bukan kah shalat istikharah dulu lebih baik?.”

“Aku sudah yakin. Jika Fara ingin istikharah dulu silahkan. Aku memberimu waktu,” jawabnya sambil tersenyum.

“Sikahkan besok ustadz silaturahim lagi kesini dengan orang tuamu.”

Kemantapan bersarang di hatinya. Gadis itu memang butuh seseorang yang bisa membimbing agar hijrahnya bisa Istiqomah sepanjang hayat.

°°°°°

Hari berganti begitu cepat. Malam ini Ustadz Zaki dan orang tuanya akan datang. Fara menemani ibunya di dapur menyiapkan Snack untuk suguhan.

“Ibuk senang dan lega. Akhirnya kamu dilamar seorang ustadz yang tawadhu dan baik.”

“Ah mungkin mbk Fara menerima karena dia ganteng,” goda Faris, adik lelaki Fara.

“Jangan sok tau,” gadis itu mengacak rambut Faris sambil tertawa.

“Aku tau seleramu mbk, “ sahutnya dengan gelak tawa.

“Dasar comel... “ tukas Fara sambil memukul kepala Faris dengan terong.

“Sudah sudah.. nggak siang nggak malam kalo ketemu kalian bertengkar terus. Faris jangan goda mbk mu lagi,” Bu Nur melerai dengan pelan.

“Lah memang mbk gitu ko buk ... hhhhh,” tawanya semakin kencang.

Bel rumah berbunyi. Mengentikan tawa canda mereka. Bu Nur segera membuka pintu. Ternyata Ustadz Zaki dan kedua orang tuanya telah datang.

“Assalamu’alaikum, “ ucap satu keluarga itu.

“Waalaikum Salam, Monggo masuk. Silahkan duduk,” jawab Bu Nur dengan senyum mengembang di bibirnya.

“Kedatangan kami kesini menindaklanjuti ta'aruf putra kami. Dia sudah mantab memilih putri ibu untuk menjadi pendamping hidupnya,” kata lelaki paruh baya yang menjadi abah Zaki.”

“Alhamdulillah. Putri saya juga sudah menerima.”

“Sebagai orang tau Zaki, kami juga ingin kenalan dengan putri ibu”

“Tentu pak.. saya akan memanggil Fara” jawab Bu nur.

Wanita cantik bertubuh tinggi itu menuju ke dapur untuk memanggil putrinya. Fara dan Faris dari tadi mengintip di balik pintu dapur.

“Nduk teh nya sudah siap?”

“Sudah Bu.”

“Ya Sudah, sekarang ayo kedepan. Bawa tehnya ya. Calon bapak dan ibu mertuamu pengen kenalan.”

“Gantengnya kan mbak,“ goda Faris lagi sambil tertawa.

“Faris.. sudah. Kamu juga ikut. Biar mereka juga kenal sama kamu.”

Farispun menuruti perintah ibunya sambil membawa nampan berisi brownies. Kini mereka bertiga telah bertatap muka dengan keluarga Zaki. Faris terlebih dahulu Salim penuh takzim dengan Zaki dan kedua orang tuanya.

Fara yang selesai meletakkan teh di atas meja juga bersalaman dengan Bu Fatimah, Ibunda Zaki.Wanita paruh baya dejavu. Ingatannya berbicara pertemuannya dengan Fara dua tahun yang lalu.

“Kamu Fara yang dulu pacarnya Alfan kan?,”

Pertanyaan Bu Fatimah mengagetkan semuanya.

Gadis itu mengangguk.

“Ibu tau saya?,” dia memberanikan diri untuk bertanya.

“Iya. Bagimana ibu lupa sama kamu. Alfan itu kan keponakan ku. Waktu itu Zaki tidak tahu karena dia masih kuliah di Kairo.”

Terpancar wajah kecewa dari Bu Fatimah. Abah Zaki pun juga kaget.

Ternyata pacar nya yang meninggal itu adalah Alfan sepupuku sendiri. Zaki bergumam dalam hati.
Sesaat suasana menjadi hening. Kemudian Bu nur mencairkan suasana dengan mempersilahkan mereka menikmati teh dan brownies yang tertata rapi di piring.

“Kamu kerja dimana nduk?,” tanya Pak Mahfud.

“Saya kerja di Pabrik rokok Apace Bah sebagai Manager Pemasaran.”

“Wah jabatan yang bagus nduk,” Pak mahfud tampak bangga.

“Tapi nanti setelah kalian menikah, kamu akan berhenti bekerja dan menjadi ibu rumah tangga kan?,” sahut Bu Fatimah.

Gadis itu terdiam. Ibu dan adiknya menoleh secara bersamaan ke arah Fara.

“Maaf Bu, untuk hal itu saya tidak bisa menjanjikan. Masih ada kewajiban yang harus saya tunaikan. Adik saya masih Aliyah, dia juga mondok. Sebelum dia menjadi sarjana saya tidak bisa berhenti bekerja karena pendidikannya menjadi tanggung jawab saya.”

Faris dan ibunya tertunduk. Fara memang Soko guru bagi keluarganya semenjak ayahnya meninggal 3 tahun yang lalu. Tubuh bu Nur yang ringkih membuat gadis itu tidak memperbolehkan ibunda bekerja.

Bu Fatimah ijin mengajak suaminya bicara diluar. Zaki masih di dalam tampak bingung. Faris, Bu nur dan lelaki itu saling pandang walau ketiganya diam. Fara hanya menunduk. Kemudian Adik laki-laki itu mencairkan suasana.

“Monggo diminum mas, browniesnyajuga dicipi. Mbak sendiri lo yang bikin. khusus untuk mu. hehehe.”

Ustadz Zaki segera mengambil sepotong brownies.

“Wah bener, enak rasanya lembut, manisnya juga pas,” kata Ustadz Zaki.

“Cie... cie... “ goda Faris sambik melirik Fara.

Wajah ayu itu kini memerah. Dia tersipu malu.
Kedua orang tua Faris datang dan duduk kembali. Pak Mahfud membisikkan sesuatu di telinga Zaki. Sontak membuat wajahnya kaget dan termangu.

“Bu Nur dan nak Fara, mohon maaf sepertinya ta'aruf ini untuk sementara tidak bisa dilanjutkan. Kami tidak bermaksud untuk mempermainkan, tapi memang ada sesuatu yang membuat kami harus berfikir ulang.”

“Maaf, kalo boleh tau sesuatu apa yang membuat bapak ragu?” tanya Bu Nur dengan nada melas.

“Ibu,” ucap Fara pelan sambil sedikit menggelengkan kepala, memberi kode untuk membatalkan pertanyaan.

“Maaf pak, sebagai ibunya Fara tentu saya ingin tau. Tapi jika bapak tidak berkenan untuk menjawab saya bisa menerima.”

“Saya bisa mengerti Pak. Karena untuk melanjutkan atau menghentikan ta'aruf ini memanglah hak keluarga bapak,” sahut Fara dengan senyum tanpa menunjukkan rasa kecewa.

“Baiklah kalo begitu. Kami mohon pamit. Assalamu’alaikum,” tukas pak Mahfud.

“Waalikum salam. Terimakasih atas silaturahimnya,” jawab Bu Nur.

Ustadz Zaki yang nampak bingung dengan keputusan orang tuanya hanya diam terpaku dan ikut pulang.

Mobil merayap keluar dari halaman rumah. Kali ini pak Mahfud yang menyetir karena hatinya cukup peka merasakan putranya yang sedang gundah gulana.

“Bah tadi mengapa tiba-tiba membatalkan taaruf?” tanyanya pelan.

“Tanya ibu Le, Abah juga kurang paham.”

“Fara bukan wanita yang tepat untukmu. Masih banyak wanita lain yang jauh lebih baik. Sudah lupakan dia.”

“Aku mencintainya buk”

“Kamu bisa menemukan cinta dari wanita lain.”

“Apa sebenarnya alasanya buk? Nggak mungkin kan ibuk menolak Fara begitu saja.”
Bu Fatimah hanya diam. Suasana menjadi dingin dan kaku.

“Nanti dirumah kita bahas lagi.” Tukas Bu Fatimah.

Aku harus memperjuangkan cintaku. Dia gadis Sholehah yang jujur dan baik. Dia layakmenjadi pendampingku. Gumamnya dalam hati.

Apa sebenarnya yang membuat Bu Fatimah Tidak menyukai Fara?

Akankah Ustadz Zaki bisa memperjuangkan cintanya yang menggelora?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar