KETIKA USTADZ JATUH CINTA
Part 3
Oleh : Aning Miftakhul Janah
Resto Sribu Asri
merupakan resto apung yang terletak di desa Bendo, kecamatan Pare. Lesehan
nyaman dengan fasilitas pemancingan di depan saung menjadi daya tarik
tersendiri bagi pengunjung.
“Langsung saja ya
Fara, ibu ingin minta bantuan sama kamu.”
“Apa yang bisa saya
bantu?.”
“Bantu Zaki
melupakanmu. tukasnya dengan penuh ketegasan.
Deg. Jantungnya
bergetar hebat. Wanita cantik paruh baya itu seolah menancapkan belati tajam
pada hatinya. Membuat gadis itu terdiam merasakan perih di dada.
“Fara, jangan diam.
Masih banyak yang ingin ibu bicarakan,” serunya.
“Menurut Ibu apa yang
harus saya lakukan?” tanya gadis itu dengan menahan luka di hatinya.”
“Jauhi Zaki!”
Mendengar seruan Bu
Fatimah bibirnya tersenyum kecut.
“Saya tidak pernah
mendekat. Kami bertemu hanya di acara rutin pengajian remaja Sabtu sore di
Masjid Agung An- Nur. Selebihnya tidak ada pertemuan khusus,” jawab gadis
berhidung Bagir itu.
“Bagus kalo begitu.
Mulai sekarang, jika Zaki menghubingumu tolong abaikan. Agar dia semakin cepat
melupakanmu.”
Fara memilih diam
karena ingin wanita yang telah menolaknya itu menumpahkan seluruh isi hatinya.
“Fara Zaki membutuhkan
wanita yang bisa berkarir dirumah. Jadwal ngajar dan ceramahnya padat. Belum
lagi ngurus minimarketnya. Jika istrinya juga keluar, siapa yang menjaga
anak-anak? Bukankah pendidikan utama dan pertama bagi anak adalah keluarga?.”
“Iya, Ibu benar.
Kehadiran orang tua memang sangat dibutuhkan anak untuk tumbuh kembangnya. Saya
bisa memahami.”
Nanar dihati Fara
tidak lantas menjadi kabut di hatinya, sehingga masih bisa berfikir jernih
mencerna kalimat Bu Fatimah.
“Kemaren ada lamaran
untuk Zaki. Katakanlah ada dua pilihan, pertama seorang gadis yang pernah
berhubungan dengan laki-laki dan tidak bisa menjadi ibu rumah tangga karena
harus bekerja di pabrik rokok, ikut andil meluncurkan produk yang memiliki efek
negatif.”
Paras ayu itu termangu
mendengar kalimat tajam yang menusuk relung hatinya.
“Yang kedua seorang
muslimah yang tumbuh di lingkungan pesantren, pergaulanya jelas dan terjaga.
Dan bisa fulltime jadi ibu rumah tangga.”
“Pilihan kedua tentu
lebih baik. Kamu juga punya adik laki-laki, pasti ingin Faris mendapatkan istri
yang terbaik kan. Sekarang kamu mengert maksud ibu?” tanya Bu Fatimah.
“Iya. Saya mengerti
perasaan ibu.”
“Baik. Ibu sudah
mendengar apa yang ibu inginkan. Terimakasih untuk hari ini. Saya pulang dulu.
Karena waktu juga sudah sore.”
Setelah meneguk seperempat gelas Bu Fatimah bergegas meninggalkan Fara, membayar minuman kemudian melajukan mobil menuju rumah.
Fara masih terpaku di
Saung mini persegi ukuran dua meter itu. Pipinya basah, butir bening yang
sedari ditahan kini pecah. Hembusan angin yang membelai sore itu tak mampu
membuat hatinya adem.
Teringat Pak Suyut
yang menunggu di depan, dirinya bergegas menuju kasir kemudian meninggalkan
resto.
“Wah borong nasi pak?”
tanya Fara melihat lima tumpuk kotak nasi ayam bakar terbungkus kantong Kresek
putih transparan yang terletak di bangku becak.
“Oh ndak mbak. Ada
orang dermawan yang berbagi Rizki. Ini yang namanya Yarzuqu min haitsu la
yahtasib. Rizki dari arah yang tidak disangka-sangka. Siapapun dia, semoga
Allah membalas dengan kebaikan berlipat ganda. Di beri kesehatan, kebahagiaan
dan dilancarkan segala urusannya,” jawab Pak Suyut dengan mata berkaca-kaca dan
nada hari bahagia.
Senyum mengembang di bibir gadis itu. Do'a dan gurat bahagia Pak Suyut menghibur hatinya yang sedang kalut. Berbagi memang memberi kebahagiaan tersendiri. Gumamnya dalam hati.
Berbagi hal kecil bisa
berarti besar bagi orang lain. Membuat Fara semakin semangat bersedekah.
“Amin. Sudah sore pak.
Ayo antar saya pulang.”
Becak melaju pelan menyusuri persawahan yang membentang di sepanjang jalan kecil itu. Fara masih terpaku memikirkan semua kalimat Bu Fatimah.
Jalan demi jalan di
lalui, becak itu mengantarkannya sampai dirumah.
°°°
Jam menunjukkan pukul
20.10 WIB, Fara yang biasanya masih bersenda gurau dengan ibunya di ruang
keluarga kini lebih memilih di kamar. Menyandarkan punggungnya di bahu ranjang
empuk berwarna biru dongker itu. Terngiang semua kalimat Bu Fatimah.
Sekarang aku paham,
mengapa dalam ilmu Fiqih, Taharah (Bersuci) menjadi pembahasan pertama, karena
kesucian bagi seorang wanita menjadi nilai harga diri. Penjagaan pada diri
menjadi simbol kesucian. Andaikan aku dulu nggak pacaran, mungkin seseorang
tidak akan memandangku negatif. Gumamnya dalam hati.
Teringat pula pandangan buruk Bu Fatimah mengenai pekerjaannya. Kini tangisnya pecah tidak terbendung.
Bu Nur merasa khawatir
dengan putrinya, tidak biasa anak gadisnya itu langsung tidur secepat itu.
Diketuklah pintu kamar. Fara segera mengusap air matanya dan mempersilahkan
ibunda masuk.
“Matamu merah nduk
seperti habis menangis. Ada apa? berbagi sama ibuk nak.”
“Faris sudah tidur
buk?.”
“Dia mengerjakan tugas
liburanya di kamar. Ayo cerita sama ibuk.”
Tak kuat menahan
kesedihan yang meluap di dada, gadis itu menceritakan semuanya.
“Nduk kamu memang
pernah pacaran, tapi sudah berhijrah. Biarlah orang lain memandang apa, yang
penting dihadapan Allah kamu sungguh-sungguh bertaubat dan memperbaiki diri.”
“Mengenai pekerjaanmu,
rokok memang banyak mudlorotnya jika dipandang dari satu sisi. Tapi jika
dilihat dari sudut pandang yang yang lebih luas, ada dampak positifnya juga.
Berapa ribu nyawa manusia yang menggantungkan sumber penghasilan dari rokok
mulai dari pekerja pabrik, petani tembakau dan cengkeh. Juga para distributor
dan sales. Belum lagi para agen dan pengecer kecil, toko kelontong yang turut
merasakan laba dari penjualan rokok. Bahkan pabrik menjadi salah satu
penyumbang pajak yang cukup besar bagi negara. Uangnya kan kembali ke rakyat,
untuk membangun sarana publik seperti jalan, atau bantuan lainya untuk
rakyat."
Pandangan luas Bu Nur
sedikit menenangkan hati Fara. Wanita paruh baya itu memang lemah secara fisik.
Tapi pikirannya cukup terasah karena setiap hari mengikuti perkembangan
informasi di telivisi dan surat kabar.
“Tapi Nduk, Bu Fatimah
itu ada benarnya lo. Bagi wanita, pencapaian karier terbaik itu ketika mampu
mencetak anak-anak yang sholeh, sehat jasmani maupun rohani dan bermanfaat bagi
orang lain. Biasanya ibu pekerja tidak punya banyak waktu untuk anak-anaknya.
Apa nggak sebaiknya kamu mencoba berwirausaha usaha yang bisa dikerjakan
dirumah? Agar nanti kalo menikah dan punya anak bisa punya banyak waktu untuk
keluarga,” usul Bu Nur.
“Kalo aku berhenti
nanti gimana dengan sekolah Faris yang setiap bulan butuh biaya pasti sedangkan
wirausaha butuh waktu, tidak instan langsung berhasil.”
“Mbak itukan manager
pemasaran, pasti menguasai ilmu-ilmu berniaga. Jualan saja. Bismillah, Insyaallah
pasti bisa,” sahut Faris yang ternyata sedari tadi mendengarkan pembicaraan di
balik pintu yang sedikit terbuka. Tubuh tinggi kerempeng itu kini juga ikut
duduk di tepi ranjang.
“Kamu nguping?,” tanya
Fara.
“He he he, maaf ya
mbak, kalo tadi aku muncul pasti pembicaraan tidak terbuka seperti ini seperti
ini,” jawab Faris sambil tertawa.
“Faris bener nduk. kita bisa bersama-sama jualan barang atau jasa. Ya yang sesuai dengan hoby mu saja, biar menyenangkan.
Keluarga itu selalu kompak. Saling sayang dan peduli satu sama lain.
“Fara pikirkan dulu ya
buk.”
“Jualan brownies saja
mbak. Katanya Ustadz Zaki aja enak, buka toko, minta di endorse sekalian,
followernya kan banyak. Nanti pasti laris. Eh jangan deh emaknya garang,” kata
Faris sambil tertawa.
Mereka pun tertawa.
Fara yang tadi hanyut dalam kesedihan kini sudah mulai mencair dan
mengembangkan bibir. Ibu dan dua anak itu kini mulai bercanda seperti biasa
karena Faris selalu berusaha menghibur kakaknya.
°°°
“Jadi ibu tadi menemui
Fara dan mengatakan semua itu? sepertinya Abah mulai kehilangan perhiasan
berharga yang selama ini Abah banggakan,” kata pak Mahfud pada istrinya dengan
nada kecewa.
“Kehilangan perhiasan?
maksudnya Abah apa?”
“Sadar atau tidak,
sikap Ibu tidak lagi mencerminkan wanita Sholehah. Standar tinggi calon mantu
membuat Ibu merendahkan orang lain. Alih-alih menyayangi anak malah ibu lupa
bahwa di hadapan Allah semua manusia sama, yang membedakan hanya keimanan. Dan
hanya Allah yang berhak menilai keimanan dan kesucian seseorang. Bahkan Ibu
lupa dengan kebahagiaan anak sendiri.”
Bu Fatimah terdiam
mendengar suaminya bicara dengan nada kecewa.
“Tadi pagi Abah dan
Zaki sowan ke ndalem Kiai Hanan, dawuhnya bagus untuk dilanjutkan. Mana yang
lebih masuk? Prasangka Ibu yang belum tentu benar atau Istikharah Kiai Hanan?”
tanya Pak Mahfud dengan penuh ketegasan.
“Abah tidak matur kalo
tadi sowan ke ndalem Kiai, jadi Ibu tidak tau,” jawab Bu Fatimah dengan nada
melas.
“Makanya kalo mau
bertindak itu tanya dulu sama Abah, tadi juga ijinnya mau ke Bilqis ambil
seragam ibu-ibu muslimat, ternyata sampe ke resto juga. Abah tidak suka seperti
itu.”
Bu Fatimah diam
tertunduk di tepi ranjang kamar tidurnya.
“Abah heran. Pemikiran
ibu jadi sempit. Tidak lagi anggun seperti biasanya. pemikiran tentang rokok
pun juga ciut, padahal banyak yang menerima manfaat dari keberadaan rokok.
Menyerap pengangguran, menyumbang penghasilan negara maupun rakyat kecil yang
jualan.”
“Dibungkusnya saja
sudah tertera jelas merokok membunuhmu, berarti pabrik itu tidak hanya
menciptakan sumber penyakit tetapi juga memberi peringatan. Fara hanya berusaha
menyambung hidup. Karena nasibnya tidak seberuntung gadis lain seusianya yang
masih mendapatkan curahan harta dari orang tua,” tegas pak Mahfud yang berdiri
di depan lemari baju dengan melipat tangan.
Bu Fatma masih
tertunduk. Meresapi setiap kalimat dari suaminya. Sedangkan Pak Mahfud menarik
nafas panjang untuk menahan amarahnya.
“Muhasabah diri buk,
demi kebaikanmu” seru pak Mahfud sambil berlalu meninggalkan kamar menuju taman
belakang untuk mencari udara segar.
°°°
Malam yang cerah
dengan bintang yang yang berjajar tidak beraturan di langit hitam. Purnama
membulat, menyinari bunga kertas berwarna merah dan kuning serta bunga Wijaya
Kusuma yang tidak mendapatkan temaram lampu taman.
Terlihat putranya
sedang duduk di kursi kayu panjang berwarna putih yang terletak di tengah
taman.
“Masih di luar Le,”
sapa Pak Mahfud.
“Abah, Monggo duduk
bah.”
Pak Mahfud duduk di
samping putranya sambil mengamati tong sampah kecil di depan kursi yang penuh
dengan kertas.
“Sudah menghubungi
Fara?,” Tanyanya penuh selidik.
“Sakit Bah, whatApp
Zaki tidak ada satu pun yang di balas,” jawab Ustadz Zaki dengan lesu.
“Memangnya sudah berapa kali kirim whatsApp?.”
“Banyak Bah. Dari tadi
pagi. Barusan juga. Padahal Zaki sudah mati-matian bikin surat cinta, kertasnya
aja hampir habis sebuku untuk bikin kata-kata. Eh Cuma di read doang kaya surat
kabar aja.”
“Ha ha ha, namanya
juga pejuang cinta. Jangan putus semangat.”
“Nyesek Bah, dari dulu
susah jatuh cinta. Sekarang ketika hati ini bisa berlabuh, ibuk tidak ridho.
Dicuekin pula. Gini amat nasib Zaki.”
Pak Mahfud semakin
tertawa mendengarkan curahan hati putranya. Lelaki gagah nan tangguh, pekerja
keras dan kuat berzikir dari tengah malam hingga Fajar ternyata memiliki
kelemahan. Cinta.
“Sabar. Kalo mau naik
kelas kan memang harus ujian dulu. Coba Abah lihat apa yang kamu kirim.”
Ustadz Zaki pun
memberikan ponselnya.
~
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Fara bagaimana
kabarmu?
Salam hangat dariku,
sehangat mentari pagi yang menyapa dedaunan.
Fara, bidadari cantik
pemilik hatiku, meski Ridho ibu menghalangi, tidak sedikit pun melunturkan
rasaku karena Sang Pemilik Semesta, Allah Azza Wajalla telah menurunkan tetesan
embun surga bernama CINTA dikalbuku. Untuk mu. Dan hanya dirimu.
Fara, hanya dihatimulah hatiku berlabuh. Berikan aku waktu untuk memperjuangkan cinta ini.
Jaga selalu hatimu
hingga aku benar-benar bisa membawamu menuju istana cinta, pelaminan.
Haqqul yakin, kita
akan segera berada dalam ikatan suci pernikahan. Membina keluarga kecil.
Melahirkan generasi Qur'ani yang berakhlakul Karimah dan berbudi pekerti luhur.
Bahkan namamu selalu kusebut dalam rintihan do'aku.
Bahkan namamu selalu kusebut dalam rintihan do'aku.
Kutunggu jawabanmu.
Gadis Sholehah yang elok nan ayu.
~
~
“Wah romantis juga
kamu Le,” puji pak Mahfud sambil tersenyum.
“Demi Fara Bah, ”
jawab ustad Zaki sambil tersenyum.
“Ya jelas dia tidak
membalas, karena tadi baru dapat shock terapi dari ibumu.”
“Ibu ngapain Bah?,”
tanya Zaki penasaran.
“Intinya memintanya
untuk menjauhimu.”
Lelaki berhidung
Bangir itu tertunduk lesu.
“Jangan marah sama
Ibuk. Caranya memang salah, tapi tujuannya baik. Saking sayangnya sama kamu
Sampek begitu.”
Ustadz Zaki menghela
nafas panjang.
Mumpung belum terlalu
malam, sekarang telepon Fara. Tunjukkan kesungguhanmu. Ajak ketemu mumpung
besok hari minggu dan adikmu juga lagi dirumah. Jadi kamu ada teman untuk
menemuinya.”
Tanganya pun meraih
benda datar persegi itu. Jemarinya mengusap layar, menuju panggilan. Dengan
mengucap basmallah dirinya memencet nomor Fara.
Panggilan pertama
lewat. Kedua masih Sama. Ketiga tidak juga dijawab.
Matanya memandang
kecewa ke arah abahnya.
“Coba lagi. Semoga
Allah mengetuk hatinya untuk menjawab,” kata Pak Mahfud memberi semangat.
Di taman itu, cahaya
rembulan menemani ayah yang sedang memberi semangat pada putranya untuk meraih
cinta.
Disudut yang lain,
hati Fara yang teriris berusaha menghindari rasa cinta itu.
Tik tok tik tok
.
Suara handphone Fara
kembali berbunyi. Disampingnya masih ada ibu dan adiknya.
“Dijawab saja Nduk.
Kasian dari tadi kamu cuekin. Beri kepastian sekalian agar dia tidak berharap
kamu mau menunggunya,” usul Ibunya.
“Assalamu’alalikum
Ustadz.”
“Waalaikum salam
warahmatullah. Alhamulillah, akhirnya kamu menjawab.” jawab Ustadz Zaki dengan
nada bahagia.
Pak Mahfud meminta
Zaki menyalakan pengeras suara handphone agar dirinya bisa mendengarkan. Begitu
juga dengan ibunya Fara.
“Bagaimana kabarmu?”
tanya Ustadz Zaki.
“Alhamdulillah sehat.”
“Fara aku mencintaimu.
Rasaku padamu sepeti yang tertulis tadi. Fara besok tolong temui aku ya.”
“Maaf Ustadz. Aku tidak
bisa. Mulai sekarang tolong jauhi aku. Karena aku tidak bisa menunggumu.”
Pak Mahfud memberi
kode pada putranya untuk berbicara mengikuti kalimat yang ia tulis.
“Fara Abah sudah
merestui hubungan kita. Abah mendukung dan membantuku memperjuangkanmu. Aku
yakin ibuku akan luluh. Sekali ini saja tolong temui aku. Kita bicarakan dari
hati ke hati dan dengan kepala dingin.”
Bu Nur memberi kode
pada putrinya untuk menerima ajakan itu.
“Baik. Dimana?” tanya
ustadz Zaki
Pak Mahfud kembali menyodorkan tulisan tempat untuk mereka bertemu.
“Di tempat wisata
kebun bibit, Tegowangi, Pelemahan. Jam sembilan pagi. Aku ngajak adiku.”
“Iya. Sampai ketemu
besok. Assalamu’alaikum.”
Ustadz Zaki sontak
memeluk abahnya. Hatinya bahagia karena bidadari terkasih menerima ajakannya.
“Makasih bah.”
Pak Mahfud senang
melihat gurat bahagia yang terpancar di wajah putranya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar