Kamis, 07 Februari 2019

BBIRMU MASIH PERAWAN


KETIKA USTADZ JATUH CINTA
Part 3

Oleh : Aning Miftakhul Janah



Resto Sribu Asri merupakan resto apung yang terletak di desa Bendo, kecamatan Pare. Lesehan nyaman dengan fasilitas pemancingan di depan saung menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung.

“Langsung saja ya Fara, ibu ingin minta bantuan sama kamu.”

“Apa yang bisa saya bantu?.”

“Bantu Zaki melupakanmu. tukasnya dengan penuh ketegasan.

Deg. Jantungnya bergetar hebat. Wanita cantik paruh baya itu seolah menancapkan belati tajam pada hatinya. Membuat gadis itu terdiam merasakan perih di dada.

“Fara, jangan diam. Masih banyak yang ingin ibu bicarakan,” serunya.

“Menurut Ibu apa yang harus saya lakukan?” tanya gadis itu dengan menahan luka di hatinya.”
“Jauhi Zaki!”

Mendengar seruan Bu Fatimah bibirnya tersenyum kecut.

“Saya tidak pernah mendekat. Kami bertemu hanya di acara rutin pengajian remaja Sabtu sore di Masjid Agung An- Nur. Selebihnya tidak ada pertemuan khusus,” jawab gadis berhidung Bagir itu.

“Bagus kalo begitu. Mulai sekarang, jika Zaki menghubingumu tolong abaikan. Agar dia semakin cepat melupakanmu.”

Fara memilih diam karena ingin wanita yang telah menolaknya itu menumpahkan seluruh isi hatinya.

“Fara Zaki membutuhkan wanita yang bisa berkarir dirumah. Jadwal ngajar dan ceramahnya padat. Belum lagi ngurus minimarketnya. Jika istrinya juga keluar, siapa yang menjaga anak-anak? Bukankah pendidikan utama dan pertama bagi anak adalah keluarga?.”

“Iya, Ibu benar. Kehadiran orang tua memang sangat dibutuhkan anak untuk tumbuh kembangnya. Saya bisa memahami.”

Nanar dihati Fara tidak lantas menjadi kabut di hatinya, sehingga masih bisa berfikir jernih mencerna kalimat Bu Fatimah.

“Kemaren ada lamaran untuk Zaki. Katakanlah ada dua pilihan, pertama seorang gadis yang pernah berhubungan dengan laki-laki dan tidak bisa menjadi ibu rumah tangga karena harus bekerja di pabrik rokok, ikut andil meluncurkan produk yang memiliki efek negatif.”

Paras ayu itu termangu mendengar kalimat tajam yang menusuk relung hatinya.

“Yang kedua seorang muslimah yang tumbuh di lingkungan pesantren, pergaulanya jelas dan terjaga. Dan bisa fulltime jadi ibu rumah tangga.”

“Pilihan kedua tentu lebih baik. Kamu juga punya adik laki-laki, pasti ingin Faris mendapatkan istri yang terbaik kan. Sekarang kamu mengert maksud ibu?” tanya Bu Fatimah.

“Iya. Saya mengerti perasaan ibu.”

“Baik. Ibu sudah mendengar apa yang ibu inginkan. Terimakasih untuk hari ini. Saya pulang dulu. Karena waktu juga sudah sore.”

Setelah meneguk seperempat gelas Bu Fatimah bergegas meninggalkan Fara, membayar minuman kemudian melajukan mobil menuju rumah.

Fara masih terpaku di Saung mini persegi ukuran dua meter itu. Pipinya basah, butir bening yang sedari ditahan kini pecah. Hembusan angin yang membelai sore itu tak mampu membuat hatinya adem.

Teringat Pak Suyut yang menunggu di depan, dirinya bergegas menuju kasir kemudian meninggalkan resto.

“Wah borong nasi pak?” tanya Fara melihat lima tumpuk kotak nasi ayam bakar terbungkus kantong Kresek putih transparan yang terletak di bangku becak.

“Oh ndak mbak. Ada orang dermawan yang berbagi Rizki. Ini yang namanya Yarzuqu min haitsu la yahtasib. Rizki dari arah yang tidak disangka-sangka. Siapapun dia, semoga Allah membalas dengan kebaikan berlipat ganda. Di beri kesehatan, kebahagiaan dan dilancarkan segala urusannya,” jawab Pak Suyut dengan mata berkaca-kaca dan nada hari bahagia.

Senyum mengembang di bibir gadis itu. Do'a dan gurat bahagia Pak Suyut menghibur hatinya yang sedang kalut. Berbagi memang memberi kebahagiaan tersendiri. Gumamnya dalam hati.

Berbagi hal kecil bisa berarti besar bagi orang lain. Membuat Fara semakin semangat bersedekah.
“Amin. Sudah sore pak. Ayo antar saya pulang.”

Becak melaju pelan menyusuri persawahan yang membentang di sepanjang jalan kecil itu. Fara masih terpaku memikirkan semua kalimat Bu Fatimah.

Jalan demi jalan di lalui, becak itu mengantarkannya sampai dirumah.

°°°
Jam menunjukkan pukul 20.10 WIB, Fara yang biasanya masih bersenda gurau dengan ibunya di ruang keluarga kini lebih memilih di kamar. Menyandarkan punggungnya di bahu ranjang empuk berwarna biru dongker itu. Terngiang semua kalimat Bu Fatimah.

Sekarang aku paham, mengapa dalam ilmu Fiqih, Taharah (Bersuci) menjadi pembahasan pertama, karena kesucian bagi seorang wanita menjadi nilai harga diri. Penjagaan pada diri menjadi simbol kesucian. Andaikan aku dulu nggak pacaran, mungkin seseorang tidak akan memandangku negatif. Gumamnya dalam hati.

Teringat pula pandangan buruk Bu Fatimah mengenai pekerjaannya. Kini tangisnya pecah tidak terbendung.

Bu Nur merasa khawatir dengan putrinya, tidak biasa anak gadisnya itu langsung tidur secepat itu. Diketuklah pintu kamar. Fara segera mengusap air matanya dan mempersilahkan ibunda masuk.

“Matamu merah nduk seperti habis menangis. Ada apa? berbagi sama ibuk nak.”

“Faris sudah tidur buk?.”

“Dia mengerjakan tugas liburanya di kamar. Ayo cerita sama ibuk.”

Tak kuat menahan kesedihan yang meluap di dada, gadis itu menceritakan semuanya.

“Nduk kamu memang pernah pacaran, tapi sudah berhijrah. Biarlah orang lain memandang apa, yang penting dihadapan Allah kamu sungguh-sungguh bertaubat dan memperbaiki diri.”

“Mengenai pekerjaanmu, rokok memang banyak mudlorotnya jika dipandang dari satu sisi. Tapi jika dilihat dari sudut pandang yang yang lebih luas, ada dampak positifnya juga. Berapa ribu nyawa manusia yang menggantungkan sumber penghasilan dari rokok mulai dari pekerja pabrik, petani tembakau dan cengkeh. Juga para distributor dan sales. Belum lagi para agen dan pengecer kecil, toko kelontong yang turut merasakan laba dari penjualan rokok. Bahkan pabrik menjadi salah satu penyumbang pajak yang cukup besar bagi negara. Uangnya kan kembali ke rakyat, untuk membangun sarana publik seperti jalan, atau bantuan lainya untuk rakyat."

Pandangan luas Bu Nur sedikit menenangkan hati Fara. Wanita paruh baya itu memang lemah secara fisik. Tapi pikirannya cukup terasah karena setiap hari mengikuti perkembangan informasi di telivisi dan surat kabar.

“Tapi Nduk, Bu Fatimah itu ada benarnya lo. Bagi wanita, pencapaian karier terbaik itu ketika mampu mencetak anak-anak yang sholeh, sehat jasmani maupun rohani dan bermanfaat bagi orang lain. Biasanya ibu pekerja tidak punya banyak waktu untuk anak-anaknya. Apa nggak sebaiknya kamu mencoba berwirausaha usaha yang bisa dikerjakan dirumah? Agar nanti kalo menikah dan punya anak bisa punya banyak waktu untuk keluarga,” usul Bu Nur.

“Kalo aku berhenti nanti gimana dengan sekolah Faris yang setiap bulan butuh biaya pasti sedangkan wirausaha butuh waktu, tidak instan langsung berhasil.”

“Mbak itukan manager pemasaran, pasti menguasai ilmu-ilmu berniaga. Jualan saja. Bismillah, Insyaallah pasti bisa,” sahut Faris yang ternyata sedari tadi mendengarkan pembicaraan di balik pintu yang sedikit terbuka. Tubuh tinggi kerempeng itu kini juga ikut duduk di tepi ranjang.

“Kamu nguping?,” tanya Fara.

“He he he, maaf ya mbak, kalo tadi aku muncul pasti pembicaraan tidak terbuka seperti ini seperti ini,” jawab Faris sambil tertawa.

“Faris bener nduk. kita bisa bersama-sama jualan barang atau jasa. Ya yang sesuai dengan hoby mu saja, biar menyenangkan.

Keluarga itu selalu kompak. Saling sayang dan peduli satu sama lain.

“Fara pikirkan dulu ya buk.”

“Jualan brownies saja mbak. Katanya Ustadz Zaki aja enak, buka toko, minta di endorse sekalian, followernya kan banyak. Nanti pasti laris. Eh jangan deh emaknya garang,” kata Faris sambil tertawa.
Mereka pun tertawa. Fara yang tadi hanyut dalam kesedihan kini sudah mulai mencair dan mengembangkan bibir. Ibu dan dua anak itu kini mulai bercanda seperti biasa karena Faris selalu berusaha menghibur kakaknya.

°°°
“Jadi ibu tadi menemui Fara dan mengatakan semua itu? sepertinya Abah mulai kehilangan perhiasan berharga yang selama ini Abah banggakan,” kata pak Mahfud pada istrinya dengan nada kecewa.

“Kehilangan perhiasan? maksudnya Abah apa?”

“Sadar atau tidak, sikap Ibu tidak lagi mencerminkan wanita Sholehah. Standar tinggi calon mantu membuat Ibu merendahkan orang lain. Alih-alih menyayangi anak malah ibu lupa bahwa di hadapan Allah semua manusia sama, yang membedakan hanya keimanan. Dan hanya Allah yang berhak menilai keimanan dan kesucian seseorang. Bahkan Ibu lupa dengan kebahagiaan anak sendiri.”

Bu Fatimah terdiam mendengar suaminya bicara dengan nada kecewa.

“Tadi pagi Abah dan Zaki sowan ke ndalem Kiai Hanan, dawuhnya bagus untuk dilanjutkan. Mana yang lebih masuk? Prasangka Ibu yang belum tentu benar atau Istikharah Kiai Hanan?” tanya Pak Mahfud dengan penuh ketegasan.

“Abah tidak matur kalo tadi sowan ke ndalem Kiai, jadi Ibu tidak tau,” jawab Bu Fatimah dengan nada melas.
“Makanya kalo mau bertindak itu tanya dulu sama Abah, tadi juga ijinnya mau ke Bilqis ambil seragam ibu-ibu muslimat, ternyata sampe ke resto juga. Abah tidak suka seperti itu.”

Bu Fatimah diam tertunduk di tepi ranjang kamar tidurnya.

“Abah heran. Pemikiran ibu jadi sempit. Tidak lagi anggun seperti biasanya. pemikiran tentang rokok pun juga ciut, padahal banyak yang menerima manfaat dari keberadaan rokok. Menyerap pengangguran, menyumbang penghasilan negara maupun rakyat kecil yang jualan.”

“Dibungkusnya saja sudah tertera jelas merokok membunuhmu, berarti pabrik itu tidak hanya menciptakan sumber penyakit tetapi juga memberi peringatan. Fara hanya berusaha menyambung hidup. Karena nasibnya tidak seberuntung gadis lain seusianya yang masih mendapatkan curahan harta dari orang tua,” tegas pak Mahfud yang berdiri di depan lemari baju dengan melipat tangan.

Bu Fatma masih tertunduk. Meresapi setiap kalimat dari suaminya. Sedangkan Pak Mahfud menarik nafas panjang untuk menahan amarahnya.

“Muhasabah diri buk, demi kebaikanmu” seru pak Mahfud sambil berlalu meninggalkan kamar menuju taman belakang untuk mencari udara segar.

°°°
Malam yang cerah dengan bintang yang yang berjajar tidak beraturan di langit hitam. Purnama membulat, menyinari bunga kertas berwarna merah dan kuning serta bunga Wijaya Kusuma yang tidak mendapatkan temaram lampu taman.

Terlihat putranya sedang duduk di kursi kayu panjang berwarna putih yang terletak di tengah taman.
“Masih di luar Le,” sapa Pak Mahfud.

“Abah, Monggo duduk bah.”

Pak Mahfud duduk di samping putranya sambil mengamati tong sampah kecil di depan kursi yang penuh dengan kertas.

“Sudah menghubungi Fara?,” Tanyanya penuh selidik.

“Sakit Bah, whatApp Zaki tidak ada satu pun yang di balas,” jawab Ustadz Zaki dengan lesu.

“Memangnya sudah berapa kali kirim whatsApp?.”

“Banyak Bah. Dari tadi pagi. Barusan juga. Padahal Zaki sudah mati-matian bikin surat cinta, kertasnya aja hampir habis sebuku untuk bikin kata-kata. Eh Cuma di read doang kaya surat kabar aja.”

“Ha ha ha, namanya juga pejuang cinta. Jangan putus semangat.”

“Nyesek Bah, dari dulu susah jatuh cinta. Sekarang ketika hati ini bisa berlabuh, ibuk tidak ridho. Dicuekin pula. Gini amat nasib Zaki.”

Pak Mahfud semakin tertawa mendengarkan curahan hati putranya. Lelaki gagah nan tangguh, pekerja keras dan kuat berzikir dari tengah malam hingga Fajar ternyata memiliki kelemahan. Cinta.

“Sabar. Kalo mau naik kelas kan memang harus ujian dulu. Coba Abah lihat apa yang kamu kirim.”

Ustadz Zaki pun memberikan ponselnya.

~
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Fara bagaimana kabarmu?

Salam hangat dariku, sehangat mentari pagi yang menyapa dedaunan.

Fara, bidadari cantik pemilik hatiku, meski Ridho ibu menghalangi, tidak sedikit pun melunturkan rasaku karena Sang Pemilik Semesta, Allah Azza Wajalla telah menurunkan tetesan embun surga bernama CINTA dikalbuku. Untuk mu. Dan hanya dirimu.

Fara, hanya dihatimulah hatiku berlabuh. Berikan aku waktu untuk memperjuangkan cinta ini.
Jaga selalu hatimu hingga aku benar-benar bisa membawamu menuju istana cinta, pelaminan.

Haqqul yakin, kita akan segera berada dalam ikatan suci pernikahan. Membina keluarga kecil. Melahirkan generasi Qur'ani yang berakhlakul Karimah dan berbudi pekerti luhur.
Bahkan namamu selalu kusebut dalam rintihan do'aku.

Kutunggu jawabanmu. Gadis Sholehah yang elok nan ayu.
~

“Wah romantis juga kamu Le,” puji pak Mahfud sambil tersenyum.

“Demi Fara Bah, ” jawab ustad Zaki sambil tersenyum.

“Ya jelas dia tidak membalas, karena tadi baru dapat shock terapi dari ibumu.”

“Ibu ngapain Bah?,” tanya Zaki penasaran.

“Intinya memintanya untuk menjauhimu.”

Lelaki berhidung Bangir itu tertunduk lesu.

“Jangan marah sama Ibuk. Caranya memang salah, tapi tujuannya baik. Saking sayangnya sama kamu Sampek begitu.”

Ustadz Zaki menghela nafas panjang.

Mumpung belum terlalu malam, sekarang telepon Fara. Tunjukkan kesungguhanmu. Ajak ketemu mumpung besok hari minggu dan adikmu juga lagi dirumah. Jadi kamu ada teman untuk menemuinya.”

Tanganya pun meraih benda datar persegi itu. Jemarinya mengusap layar, menuju panggilan. Dengan mengucap basmallah dirinya memencet nomor Fara.

Panggilan pertama lewat. Kedua masih Sama. Ketiga tidak juga dijawab.
Matanya memandang kecewa ke arah abahnya.

“Coba lagi. Semoga Allah mengetuk hatinya untuk menjawab,” kata Pak Mahfud memberi semangat.
Di taman itu, cahaya rembulan menemani ayah yang sedang memberi semangat pada putranya untuk meraih cinta.
Disudut yang lain, hati Fara yang teriris berusaha menghindari rasa cinta itu.

Tik tok tik tok
.
Suara handphone Fara kembali berbunyi. Disampingnya masih ada ibu dan adiknya.

“Dijawab saja Nduk. Kasian dari tadi kamu cuekin. Beri kepastian sekalian agar dia tidak berharap kamu mau menunggunya,” usul Ibunya.

“Assalamu’alalikum Ustadz.”

“Waalaikum salam warahmatullah. Alhamulillah, akhirnya kamu menjawab.” jawab Ustadz Zaki dengan nada bahagia.

Pak Mahfud meminta Zaki menyalakan pengeras suara handphone agar dirinya bisa mendengarkan. Begitu juga dengan ibunya Fara.

“Bagaimana kabarmu?” tanya Ustadz Zaki.
“Alhamdulillah sehat.”

“Fara aku mencintaimu. Rasaku padamu sepeti yang tertulis tadi. Fara besok tolong temui aku ya.”

“Maaf Ustadz. Aku tidak bisa. Mulai sekarang tolong jauhi aku. Karena aku tidak bisa menunggumu.”

Pak Mahfud memberi kode pada putranya untuk berbicara mengikuti kalimat yang ia tulis.

“Fara Abah sudah merestui hubungan kita. Abah mendukung dan membantuku memperjuangkanmu. Aku yakin ibuku akan luluh. Sekali ini saja tolong temui aku. Kita bicarakan dari hati ke hati dan dengan kepala dingin.”

Bu Nur memberi kode pada putrinya untuk menerima ajakan itu.

“Baik. Dimana?” tanya ustadz Zaki

Pak Mahfud kembali menyodorkan tulisan tempat untuk mereka bertemu.

“Di tempat wisata kebun bibit, Tegowangi, Pelemahan. Jam sembilan pagi. Aku ngajak adiku.”
“Iya. Sampai ketemu besok. Assalamu’alaikum.”

Ustadz Zaki sontak memeluk abahnya. Hatinya bahagia karena bidadari terkasih menerima ajakannya.
“Makasih bah.”

Pak Mahfud senang melihat gurat bahagia yang terpancar di wajah putranya.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar