Kamis, 28 Februari 2013

Pangeran Letnan



Oleh : Novi BmW

Gerbang Astana Pangeran Hamza (Nama Kecil Pangeran Letnan)
(Foto : Novi BmW, 24/02/2013)
Pangeran Kusuma Sinerangingrana ialah salah satu putra Sultan Abdurrachman Pakunataningrat, penguasa Sumenep tahun 1811-1854 M. Pada masa pemerintahan Sultan Abdurrachman ini, empat putranya diangkat sebagai staff kemiliteran, salah satunya adalah Pangeran Kusuma Sinerangingrana.

Pangeran Kusuma Sinerangingrana berpangkat Letnan Kolonel, ia merupakan Komandan Pasukan Infantri. Kediamannya berada di Desa Kapanjin, sebelah timur laut Keraton Sumenep. Hingga kemudian ia lebih terkenal dengan sebutan “Pangeran Letnan” (Zulkarnain, I. Dkk. 2003).

Pasukan infantri Sumenep terkenal prestasinya dalam beberapa peperangan di berbagai pelosok Nusantara. Kesuksesan dalam berbagai pertempuran di pelosok Nusantara ini membuktikan peran penting Pangeran Letnan sebagai komandan pasukan infantri Keraton Sumenep kala itu. Adapun prestasi pasukan Sumenep dalam beberapa operasi militer di Nusantara antara lain : 
  • Perang Bone (1825)
Ekspedisi besar-besaran menaklukkan Sulawesi, dilancarkan di bawah pimpinan MayJend. Jozef van Geen. Pasukan ekspedisi itu terdiri atas 4.100 orang. Dalam perang ini diperbantukan sekitar 1.100 pasukan Sumenep, selebihnya merupakan serdadu Belanda dan pasukan bantuan dari sekutu Belanda di Sulawesi  (http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Bone_%281825%29).

Ekspedisi ini berhasil dengan sukses dimenangkan oleh pasukan Belanda yag di bantu 1.100 pasukan dari Sumenep. Akhirnya Bone dan mayoritas wilayah Sulawesi berhasil di bawah hegemoni pasukan Kolonial Belanda.
  • Perang Diponegoro (1825-1830)
Perang yang dikenal dengan Perang Jawa ini berlangsung cukup lama dan membuat perbendaharaan Kolonial Belanda cukup terkuras untuk pembiayaan operasi militer. Terbatasnya jumlah serdadu dari bangsa Belanda,maka diperlukan pasukan tambahan dari berbagai pasukan sekutu pribumi. Salah satu barisan pasukan yang di perbantukan dalam beberapa aksi militer di Nusantara adalah pasukan dari Sumenep.
  • Perang Paderi (1837)
Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) yang dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenep, Madura). Serangan terhadap benteng Bonjol dimulai orang-orang Bugis yang berada di bagian depan dalam penyerangan pertahanan Padri (http://id.wikipedia.org/wiki/Tuanku_Imam_Bonjol).

      Untuk membantu pasukan Kolonial Belanda, Sumenep mengirim 2 kompi pasukan infantri di bawah pimpinan Kakak Pangeran Letnan, yaitu Kolonel Kusuma Senaningalaga, atau yang terkenal sebagai Pangeran Kornel (Zulkarnain, I. Dkk. 2003).
  • Perang Bali (1846-1848)
Dalam Perang melawan kekuasaan raja-raja Bali, tiga kali berturut-turut Sumenep mengirimkan 2 kompi pasukan yang dipimpin Pangeran Kusuma Suryadingayuda (Pangeran Mariyem) dan 1000 orang pekerja sipil dipimpin oleh Pangeran Suryadiputra (Pangeran Adi), meraka adalah saudara-saudara Pangeran Letnan (Jonge, 2012).

  • Perang Borneo (1854)
Dalam Perang di daratan Kalimantan, sebanyak 150 orang pasukan Sumenep di kerahkan (Zulkarnain, I. Dkk. 2003).

  • Perang Aceh (1873-1904)
Pasukan dari Sumenep dikirim pula dalam penaklukan Aceh. Banyak pula yang tergabung dalam pasukan elit “Marsose” yang kejam bin sadis (Jonge, 2012). Keberhasilan operasi ini adalah dengan Menguasai Masjid Baiturrahman Aceh, Terbunuhnya Ibrahim Lamnga (Suami 1 Cut Nyak Dien),Terbununhnya Teuku Umar (Suami ke-2 Cut Nyak Dien), menyerahnya Panglima Polim, dan berakhir dengan penangkapan Cut Nyak Dien.
Makam Pangeran Letnan
(Foto : Novi BmW, 24/02/2013)


Makam Pangeran Letnan berada di Asta Pangeran Hamza, Desa Kebonagung, Kab. Sumenep, Jawa Timur. Di sebelah makam Pangeran Letnan masih  terdapat beberapa makam yang berprasasti. Salah satu nisan berprasasti sagat indah berhias mahkota bersalip di puncaknya, prasasti tersebut berbunyi sebagai mana berikut:

Batu Nisan Berprasasti milik Istri Pangeran Letnan
(Foto : Novi BmW, 24/02/2013)
Hadal qubur almarhumah raden ayu pangeran letnan kolonel kusuma sinerang ing rana binti ratu pamekasan wafat fi lailatul arba’a fi Syahri Zulqo’dah Hilal 6 .......... 1274”

Artinya:

“ini adalah makam almarhumah Raden Ayu Pangeran Letnan Kolonel Kusumasinerangingrana putri (dari) Ratu Pamekasan wafat pada malam rabu pada bulan Zulqo’dah Hilal (hari ke-)6 .........1274.” (Novi BmW, 26/02/2013)

Jadi makam tersebut merupakan makam Istri Pangeran Letnan, yang merupakan Putri penguasa Pamekasan. Ia wafat pada tahun 1274 H (1859 M).

Sumber:

Jonge, H. 2012. Garam, kekerasan dan Aduan Sapi. Yogyakarta: LKiS

Zulkarnain, I. Dkk. 2003. Sejarah Sumenep. Sumenep: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumenep.


Senin, 25 Februari 2013

Kesucian Gunung Bromo dan Gunung Semeru

Oleh : Novi BmW

Gunung Bromo
(Foto : Novi BmW, 31/06/2010)

Gunung Bromo dan Gunung Semeru merupakan dua gunung suci dari sembilan gunung suci di Jawa. Perihal kesuciannya tersebut diabadikan dalam Kitab Tantu Panggelaran. Kitab ini berasal dari tahun 1557 Saka (1635 M)[1]. Dalam kitab ini diceritakan tentang proses pemindahan Gunung Mahameru oleh para Dewa dari tanah Jambudwipa[2] ke pulau Jawa, dan terbentuknya gunung-gunung di Jawa. Beginilah kisahnya:
Col andap kulwan, maluhur wetan ikang nuşa jawa; yata pinupak sang hyang mahāmeru, pinalih mangetan. Tunggak nira hana kari kulwan; matangnyan hana argga kelāça ngarannya mangke, tunggak sang hyang mahāmeru ngūni kacaritanya. Pucak nira pinalih mangetan, pinutĕr kinĕmbulan dening dewata kabeh; runtuh teka sang hyang mahāmeru. Kunong tambe ning lĕmah runtuh matmahan gunung katong; kaping rwaning lmah runtuh matmahan gunung wilis; kaping tiganing lmah runtuh matmahan gunung kampud; kaping pat ing lmah runtuh matmahan gunung kawi; kaping limaning lmah runtuh matmahan gunung arjuna; kaping nĕm ing lmah runtuh matmahan gunung kumukus.
Goweng sisih ring iswar dening runtuh sang hyang mahāmeru, yata condong mangalwar pangadĕgnira, (molah pukah pucaknira). Yata inadĕgakĕn dening watĕk dewata pucak sang hyang mahāmeru. Ih pawitra ling ning dewata kabeh; yata ring pawitra ngaranya mangke pucak sang hyang mahāmeru kacaritanya ngūni. Kunang pwa tan apagĕh sang hyang mahāmeru, sumanda ring gunung brahmā sira wkasan, apan wyakti rubuh sang hyang mahāmeru, yan tan sumandaha ring gunung brahmā, apan sira goweng sisih iswar. Nimitanira apagĕhana ring gunung brahmā, rĕp mapagĕh pangadĕg sang hyang mandaragiri; yata matangnyan apagĕh tikang nuşa jawa mari molah marayĕgan, nisadapagĕh. Yata matangyan sang hyang mahāmeru inaranan gunung nişada (Pigeaud, 1924).
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Dilepaskan turun di sebelah barat, menuju ke timur pulau Jawa. kemudian dilepaslah Sang Hyang Mahameru, dipindah ke timur. Dasarnya tertinggal di barat. Oleh sebab itu terciptalah gunung yang bernama Kailaca nanti. Mengenai Sang Hyang Mahameru beginilah ceritanya. Puncaknya dipindah ke timur, dikitari oleh semua para dewa; runtuh dari Sang Hyang Mahameru. Setelah jatuh ke tanah terciptalah Gunung Katong[3]; yang kedua tanah jatuh menciptakan Gunung Wilis; yang ketiga tanah runtuh tercipta Gunung Kampud[4]; yang ke empat pada tanah yang runtuh tercipta Gunung Kawi; yang kelima tanah runtuh menciptakan Gunung Arjuno; yang keenam tanah runtuh menciptakan Gunung Kamukus[5].
                Rusaklah bagian bawah setelah runtuhnya Sang Hyang Mahameru, lebih ke arah utara berdiri tegak (bagian potongan puncaknya). Di sanalah berdiri tempat para dewa di puncak Sang Hyang Mahameru. Di pindah ke Pawitra[6] maksud para dewa semua, disebut Pawitra nanti puncak Sang Hyang Mahameru, seperti diceritakan tadi. Diketahuilah kekokohan Sang Hyang Mahameru, bersandar pada Gunung Brahma untuk terakhir kalinya. Setiap kali Sang Hyang Mahameru rubuh maka bersandarlah ke Gunung Brahma tetaplah kokoh berdiri Sang Hyang Mandaragiri. Oleh sebab itulah berdiri kokoh Pulau Jawa setelah (sebelumnya) bergoncang. Duduk kokoh. Oleh karena itulah Sang Hyang Mahameru disebut pula Gunung Nisada….(Munib, NB. 2011).
Gunung Semeru
(Foto : Novi BmW dari Cuban Rais, Kota Batu)
Dari kutipan di atas, diketahui bahwa Gunung Bromo disebut “Gunung Brahma” sedangkan Gunung Semeru disebut dengan “Sang Hyang Mahameru”. Gunung Bromo dan Gunung Semeru merupakan tubuh terbesar yang terakhir jatuh di tanah Jawa. Konsep terciptanya deretan gunung di pulau Jawa, yaitu proses pemindahan Gunung Meru dari India ke Jawa sepertinya adalah upaya pemindahan kosmologi Hindu-India ke Hindu-Jawa. Kesucian gunung-gunung di tanah Jawa sama dengan kesucian Gunung Meru. Puncak Meru yang disebut “Kailaca” sama dengan kesucian Gunung Pawitra, karena menurut kosmologi Hindu-Jawa, Pawitra merupakan puncak Kailaca yang dipindah ke Pulau Jawa. Walaupun tubuh utama Gunung Mahameru menjadi Gunung Semeru-Bromo namun puncak kesakralan berada di Gunung Penanggungan puncak Kailaca.
Rujukan:
Pigeaud, Th G T. 1924. De Tantu Panggelaran. Leiden: s’Gravenhage, Nederl. Boek en Steendrukkerij voorheen H.L. Smits. 
Novi BM, 2011. Dinamika Kekuasaan Raja Jayakatyəng di Kerajaan Glang-Glang Tahun 1170-1215 Çaka: Tinjauan Geopolitik. Skripsi. Malang: FIS UM

NB : Tulisan ini merupakan hasil "Migrasi" dari www.artiistilah.blogspot.com (alm)

[1] Terdapat pada penutup kitab “tlas (s)inurat sang hyang tantu panglaran ring karangkabhujanggan kutritusan, dina u(manis) bu(dha) madangsya, titi sasi kasa, rah 7, tengek 5, rsi pandawa buta tunggal(1557)”(Pigeaud, 1924)
[2] Nama kuno wilayah India
[3] Nama kuno Gunung Lawu
[4] Nama kuno Gunung Kelud
[5] Nama kuno Gunung Welirang
[6] Nama kuno Gunung Penanggungan

Kesucian Gunung Penanggungan

Oleh : Novi BmW

Gunung Penanggungan
(Foto : Novi BmW, 17/12/2007)
Gunung Penanggungan merupakan salah satu gunung suci dari sembilan gunung suci di Jawa. Perihal kesuciannya tersebut diabadikan dalam Kitab Tantu Panggelaran. Kitab ini berasal dari tahun 1557 Saka (1635 M)[1]. Dalam kitab ini diceritakan tentang proses pemindahan Gunung Mahameru oleh para Dewa dari tanah Jambudwipa[2] ke pulau Jawa, dan terbentuknya gunung-gunung di Jawa. Beginilah kisahnya:
Col andap kulwan, maluhur wetan ikang nuşa jawa; yata pinupak sang hyang mahāmeru, pinalih mangetan. Tunggak nira hana kari kulwan; matangnyan hana argga kelāça ngarannya mangke, tunggak sang hyang mahāmeru ngūni kacaritanya. Pucak nira pinalih mangetan, pinutĕr kinĕmbulan dening dewata kabeh; runtuh teka sang hyang mahāmeru. Kunong tambe ning lĕmah runtuh matmahan gunung katong; kaping rwaning lmah runtuh matmahan gunung wilis; kaping tiganing lmah runtuh matmahan gunung kampud; kaping pat ing lmah runtuh matmahan gunung kawi; kaping limaning lmah runtuh matmahan gunung arjuna; kaping nĕm ing lmah runtuh matmahan gunung kumukus.
Goweng sisih ring iswar dening runtuh sang hyang mahāmeru, yata condong mangalwar pangadĕgnira, (molah pukah pucaknira). Yata inadĕgakĕn dening watĕk dewata pucak sang hyang mahāmeru. Ih pawitra ling ning dewata kabeh; yata ring pawitra ngaranya mangke pucak sang hyang mahāmeru kacaritanya ngūni.......(Pigeaud, 1924).
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Dilepaskan turun di sebelah barat, menuju ke timur pulau Jawa. kemudian dilepaslah Sang Hyang Mahameru, dipindah ke timur. Dasarnya tertinggal di barat. Oleh sebab itu terciptalah gunung yang bernama Kailaca nanti. Mengenai Sang Hyang Mahameru beginilah ceritanya. Puncaknya dipindah ke timur, dikitari oleh semua para dewa; runtuh dari Sang Hyang Mahameru. Setelah jatuh ke tanah terciptalah Gunung Katong[3]; yang kedua tanah jatuh menciptakan Gunung Wilis; yang ketiga tanah runtuh tercipta Gunung Kampud[4]; yang ke empat pada tanah yang runtuh tercipta Gunung Kawi; yang kelima tanah runtuh menciptakan Gunung Arjuno; yang keenam tanah runtuh menciptakan Gunung Kamukus[5].
                Rusaklah bagian bawah setelah runtuhnya Sang Hyang Mahameru, lebih ke arah utara berdiri tegak (bagian potongan puncaknya). Di sanalah berdiri tempat para dewa di puncak Sang Hyang Mahameru. Di pindah ke Pawitra maksud para dewa semua, disebut Pawitra nanti puncak Sang Hyang Mahameru, seperti diceritakan tadi....….(Munib, NB. 2011).
Dari kutipan di atas, diketahui bahwa nama “penanggungan” belum umum digunakan, dalam Tantu Panggelaran masih digunakan nama “pawitra”. Pada Prasasti Cunggrang (851 Saka) peninggalan Raja Sindok, di sebutkan pula nama “pawitra” berkenaan tentang banguna-bangunan suci di lereng timur Gunung Pawitra[6].

Gunung Penanggungan merupakan runtuhan ketujuh setelah Gunung Kamukus (Welirang) dari rentetan guguran Sang Hyang Mahameru yang dipindah dari india ke tanah Jawa. Jadi, sebagai salah satu bagian dari Sang Hyang Mahameru maka Gunung Penanggungan adalah gunung suci bagi umat Hindu. Kesucian tersebut dapat pula dilihat dari ditemukannya bangunan suci berupa reruntuhan bangunan suci di lereng-lerengnya, seperti Pathirtan Belahan (Sumber Tetek), Pathirtan Jolotundo, dan masih banyak lagi reruntuhan bangunan suci di lereng hingga puncak Gunung Penanggungan. 
Sumber Tetek
(Foto : Novi BmW, 14/03/2009)
Dahulu di lereng barat Gunung Penanggungan pernah berdiri pusat pemerintahan Raja Airlangga, yang bernama wwatan mas. Hingga kini bangunan benteng serta gapura megah masih tetap kokoh berdiri di Desa Wotanmasjedong, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto. Bangunan tersebut adalah situs Gapura Jedong atau lebih dikenal masyarakat dengan nama Candi Jedong.
Situs Wotanmas Jedong
(Foto : Novi BmW, 14/03/2009)
Konsep terciptanya deretan gunung di pulau Jawa, yaitu proses pemindahan Gunung Meru dari India ke Jawa sepertinya adalah upaya pemindahan kosmologi Hindu-India ke Hindu-Jawa. Kesucian gunung-gunung di tanah Jawa sama dengan kesucian Gunung Meru. Puncak Meru yang disebut “Kailaca” sama dengan kesucian Gunung Pawitra, karena menurut kosmologi Hindu-Jawa, Pawitra merupakan puncak Kailaca yang dipindah ke Pulau Jawa. Kondisi fisik Gunung Penanggungan pun serupa dengan konsep Meru yang memiliki lima puncak, dimana empat puncak yang lebih rendah mengelilingi puncak tertingginya.
Rujukan:
Brandes, J.L.A. 1913, Oud Javaancshe Oorkonden, Albrecht & Co, Batavia
Pigeaud, Th G T. 1924. De Tantu Panggelaran. Leiden: s’Gravenhage, Nederl. Boek en Steendrukkerij voorheen H.L. Smits. 
Munib, NB. 2011. Dinamika Kekuasaan Raja Jayakatyeng di Kerajaan Glang-Glang Tahun 1170-1215 Çaka: Tinjauan Geopolitik. Skripsi, Malang: FIS UM
 
NB : Tulisan ini merupakan hasil "Migrasi" dari www.artiistilah.blogspot.com (alm)

[1] Terdapat pada penutup kitab “tlas (s)inurat sang hyang tantu panglaran ring karangkabhujanggan kutritusan, dina u(manis) bu(dha) madangsya, titi sasi kasa, rah 7, tengek 5, rsi pandawa buta tunggal(1557)”(Pigeaud, 1924)
[2] Nama kuno wilayah India
[3] Nama kuno Gunung Lawu
[4] Nama kuno Gunung Kelud
[5] Nama kuno Gunung Welirang
[6] Bangunan karsyan yang di sebut “Sang hyang dharmmacrama ing pawitra” dan sebuah pemandian suci yang disebut“sang hyang tirtha pancuran ing paawitra” (Brandes, 1913)

Kesucian Gunung Welirang

Oleh : Novi BmW

Gunung Welirang merupakan salah satu gunung suci dari sembilan gunung suci di Jawa. Perihal kesuciannya tersebut diabadikan dalam Kitab Tantu Panggelaran. Kitab ini berasal dari tahun 1557 Saka (1635 M)[1]. Dalam kitab ini diceritakan tentang proses pemindahan Gunung Mahameru oleh para Dewa dari tanah Jambudwipa[2] ke pulau Jawa, dan terbentuknya gunung-gunung di Jawa. Beginilah kisahnya:
Col andap kulwan, maluhur wetan ikang nuşa jawa; yata pinupak sang hyang mahāmeru, pinalih mangetan. Tunggak nira hana kari kulwan; matangnyan hana argga kelāça ngarannya mangke, tunggak sang hyang mahāmeru ngūni kacaritanya. Pucak nira pinalih mangetan, pinutĕr kinĕmbulan dening dewata kabeh; runtuh teka sang hyang mahāmeru. Kunong tambe ning lĕmah runtuh matmahan gunung katong; kaping rwaning lmah runtuh matmahan gunung wilis; kaping tiganing lmah runtuh matmahan gunung kampud; kaping pat ing lmah runtuh matmahan gunung kawi; kaping limaning lmah runtuh matmahan gunung arjuna; kaping nĕm ing lmah runtuh matmahan gunung kumukus (Pigeaud, 1924).
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Dilepaskan turun di sebelah barat, menuju ke timur pulau Jawa. kemudian dilepaslah Sang Hyang Mahameru, dipindah ke timur. Dasarnya tertinggal di barat. Oleh sebab itu terciptalah gunung yang bernama Kailaca nanti. Mengenai Sang Hyang Mahameru beginilah ceritanya. Puncaknya dipindah ke timur, dikitari oleh semua para dewa; runtuh dari Sang Hyang Mahameru. Setelah jatuh ke tanah terciptalah Gunung Katong[3]; yang kedua tanah jatuh menciptakan Gunung Wilis; yang ketiga tanah runtuh tercipta Gunung Kampud[4]; yang ke empat pada tanah yang runtuh tercipta Gunung Kawi; yang kelima tanah runtuh menciptakan Gunung Arjuno; yang keenam tanah runtuh menciptakan Gunung Kamukus...….(Munib, NB. 2011).
Dari kutipan di atas, diketahui bahwa sekitar abad 16-17 nama “Welirang” belum digunakan dan masih menggunakan nama “Gunung Kamukus”. Gunung Welirang merupakan runtuhan keenam setelah Gunung Arjuna dari rentetan guguran Sang Hyang Mahameru yang dipindah dari india ke tanah Jawa. Jadi, sebagai salah satu bagian dari Sang Hyang Mahameru maka Gunung Welirang adalah gunung suci bagi umat Hindu. Kesucian tersebut dapat pula dilihat dari ditemukannya bangunan suci berupa reruntuhan bangunan suci di lereng-lerengnya, salah satu contohnya adalah Candi Songgoriti dan Candi Jawi.
Rujukan:
Pigeaud, Th G T. 1924. De Tantu Panggelaran. Leiden: s’Gravenhage, Nederl. Boek en Steendrukkerij voorheen H.L. Smits.  
Munib, NB. 2011. Dinamika Kekuasaan Raja Jayakatyeng di Kerajaan Glang-Glang Tahun 1170-1215 Çaka: Tinjauan Geopolitik. Skripsi, Malang : FIS UM

NB : Tulisan ini merupakan hasil "Migrasi" dari www.artiistilah.blogspot.com (alm)

[1] Terdapat pada penutup kitab “tlas (s)inurat sang hyang tantu panglaran ring karangkabhujanggan kutritusan, dina u(manis) bu(dha) madangsya, titi sasi kasa, rah 7, tengek 5, rsi pandawa buta tunggal(1557)”(Pigeaud, 1924)
[2] Nama kuno wilayah India
[3] Nama kuno Gunung Lawu
[4] Nama kuno Gunung Kelud

Kesucian Gunung Kawi

Oleh : Novi BmW

Gunung Kawi
(Foto : Novi BmW dari Ds. Pendem, Kota Batu)
Gunung Kawi merupakan salah satu gunung suci dari sembilan gunung suci di Jawa. Perihal kesuciannya tersebut diabadikan dalam Kitab Tantu Panggelaran. Kitab ini berasal dari tahun 1557 Saka (1635 M)[1]. Dalam kitab ini diceritakan tentang proses pemindahan Gunung Mahameru oleh para Dewa dari tanah Jambudwipa[2] ke pulau Jawa, dan terbentuknya gunung-gunung di Jawa. Beginilah kisahnya:
Col andap kulwan, maluhur wetan ikang nuşa jawa; yata pinupak sang hyang mahāmeru, pinalih mangetan. Tunggak nira hana kari kulwan; matangnyan hana argga kelāça ngarannya mangke, tunggak sang hyang mahāmeru ngūni kacaritanya. Pucak nira pinalih mangetan, pinutĕr kinĕmbulan dening dewata kabeh; runtuh teka sang hyang mahāmeru. Kunong tambe ning lĕmah runtuh matmahan gunung katong; kaping rwaning lmah runtuh matmahan gunung wilis; kaping tiganing lmah runtuh matmahan gunung kampud; kaping pat ing lmah runtuh matmahan gunung kawi;............. (Pigeaud, 1924).
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Dilepaskan turun di sebelah barat, menuju ke timur pulau Jawa. kemudian dilepaslah Sang Hyang Mahameru, dipindah ke timur. Dasarnya tertinggal di barat. Oleh sebab itu terciptalah gunung yang bernama Kailaca nanti. Mengenai Sang Hyang Mahameru beginilah ceritanya. Puncaknya dipindah ke timur, dikitari oleh semua para dewa; runtuh dari Sang Hyang Mahameru. Setelah jatuh ke tanah terciptalah Gunung Katong[3]; yang kedua tanah jatuh menciptakan Gunung Wilis; yang ketiga tanah runtuh tercipta Gunung Kampud[4]; yang ke empat pada tanah yang runtuh tercipta Gunung Kawi;…....(Munib, NB. 2011).
Dari kutipan di atas, diketahui bahwa sekitar abad 16-17 nama “Kawi” telah digunakan. Gunung Kawi merupakan runtuhan empat setelah Gunung Kampud (Kelud) dari rentetan guguran Sang Hyang Mahameru yang dipindah dari india ke tanah Jawa. Jadi, sebagai salah satu bagian dari Sang Hyang Mahameru maka Gunung Kawi adalah gunung suci bagi umat Hindu. Kesucian tersebut dapat pula dilihat dari ditemukannya bangunan suci berupa reruntuhan bangunan suci di lereng-lerengnya, Candi Sirahkencong, Candi Badut, Candi Kagnengan dan beberapa pusat kerajaan yang tumbuh kembang di sekitarnya. Sebutlah, Kerajaan Kanjuruhan, dan Kerajaan Tumapel berkembang di timur Gunung Kawi.
Penyebutan kerajaan atau wilayah di bagian timur Gunung Kawi sering disebut dalam sumber dari masa sebelum abad 17 dengan sebutan “bhumi wetan i kawi”. Sebagai contoh adalah Prasasti Mula-Malurung lempeng IVb baris 3, Nagarakrtagama (XL:2), dan Kitab Pararaton (Munib, NB. 2011).
Rujukan:
Pigeaud, Th G T. 1924. De Tantu Panggelaran. Leiden: s’Gravenhage, Nederl. Boek en Steendrukkerij voorheen H.L. Smits.  
Munib, NB. 2011. Dinamika Kekuasaan Raja Jayakatyeng di Kerajaan Glang-Glang Tahun 1170-1215 Çaka: Tinjauan Geopolitik. Skripsi, Malang: FIS UM
 
NB : Tulisan ini merupakan hasil "Migrasi" dari www.artiistilah.blogspot.com (alm)

[1] Terdapat pada penutup kitab “tlas (s)inurat sang hyang tantu panglaran ring karangkabhujanggan kutritusan, dina u(manis) bu(dha) madangsya, titi sasi kasa, rah 7, tengek 5, rsi pandawa buta tunggal(1557)”(Pigeaud, 1924)
[2] Nama kuno wilayah India
[3] Nama kuno Gunung Lawu
[4] Nama kuno Gunung Kelud

IKADA

IKADA adalah nama sebuah lapangan di wilayah Jakarta. Sekarang lapangan tersebut bernama Lapangan Monas. Dahulu pernah diadakan rapat besar pada tanggal 19 September 1945 setelah proklamasi kemerdekaan RI. Saat itu pemerintah RI ingin menyampaikan kepada masyarakat luas tentang Proklamasi kemerdekaan yang dilaksanakan Bung Karno dan Bung Hatta. Walaupun dilarang oleh pemerintahan Jepang, namun masyarakat dari seluruh penjuru berduyun-duyun memadati Lapangan IKADA.

Aku pernah ditanya oleh adik kelasku.

Adik Kelas : "mas kenapa dulu lapangan ini disebut IKADA??"
Aku            : "itu dulu kan masa pendudukan Jepang, jadi diberi nama arsiteknya yang bernama 
                       Bapak Ikada......mungkin" (agak sok tau, dan g mau kelihatan bodoh...hihihi :)

Tapi keesokan harinya dia bertemu aku lagi dan kemudian bilang.

Adik Kelas : "mas tadi Pak Dosen X menjelaskan kalau IKADA itu singkatan dari IKatan Atletik 
                     DjAkarta".
Aku            : gubrak!!!!!!!  (malu-maluin aja.....)

Yah...itulah sebenarnya istilah IKADA singkatan dari IKatan Atletik DjAkarta.

Kesucian Gunung Arjuno

oleh : Novi BmW

Gunung Arjuno
(Foto : Novi BmW dari Ds. Pendem, Kota Batu)
Gunung Arjuno merupakan salah satu gunung suci dari sembilan gunung suci di Jawa. Perihal kesuciannya tersebut diabadikan dalam Kitab Tantu Panggelaran. Kitab ini berasal dari tahun 1557 Saka (1635 M)[1]. Dalam kitab ini diceritakan tentang proses pemindahan Gunung Mahameru oleh para Dewa dari tanah Jambudwipa[2] ke pulau Jawa, dan terbentuknya gunung-gunung di Jawa. Beginilah kisahnya:

Col andap kulwan, maluhur wetan ikang nuşa jawa; yata pinupak sang hyang mahāmeru, pinalih mangetan. Tunggak nira hana kari kulwan; matangnyan hana argga kelāça ngarannya mangke, tunggak sang hyang mahāmeru ngūni kacaritanya. Pucak nira pinalih mangetan, pinutĕr kinĕmbulan dening dewata kabeh; runtuh teka sang hyang mahāmeru. Kunong tambe ning lĕmah runtuh matmahan gunung katong; kaping rwaning lmah runtuh matmahan gunung wilis; kaping tiganing lmah runtuh matmahan gunung kampud; kaping pat ing lmah runtuh matmahan gunung kawi; kaping limaning lmah runtuh matmahan gunung arjuna...............(Pigeaud, 1924).
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Dilepaskan turun di sebelah barat, menuju ke timur pulau Jawa. kemudian dilepaslah Sang Hyang Mahameru, dipindah ke timur. Dasarnya tertinggal di barat. Oleh sebab itu terciptalah gunung yang bernama Kailaca nanti. Mengenai Sang Hyang Mahameru beginilah ceritanya. Puncaknya dipindah ke timur, dikitari oleh semua para dewa; runtuh dari Sang Hyang Mahameru. Setelah jatuh ke tanah terciptalah Gunung Katong[3]; yang kedua tanah jatuh menciptakan Gunung Wilis; yang ketiga tanah runtuh tercipta Gunung Kampud[4]; yang ke empat pada tanah yang runtuh tercipta Gunung Kawi; yang kelima tanah runtuh menciptakan Gunung Arjuno;….(Munib, NB. 2011).
Dari kutipan di atas, diketahui bahwa sekitar abad 16-17 nama “Arjuno” masih menggunakan logat lama “Arjuna”. Gunung Arjuno merupakan runtuhan Lima setelah Gunung Kawi dari rentetan guguran Sang Hyang Mahameru yang dipindah dari india ke tanah Jawa. Jadi, sebagai salah satu bagian dari Sang Hyang Mahameru maka Gunung Arjuno adalah gunung suci bagi umat Hindu. Kesucian tersebut dapat pula dilihat dari ditemukannya bangunan suci berupa reruntuhan bangunan suci di lereng-lerengnya dan beberapa pusat kerajaan yang tumbuh kembang di sekitarnya. Sebutlah, Kerajaan Tumapel walaupun sering disebutkan berada di bhumi wetan i kawi namun wilayah kekuasaanya pun termasuk timur Gunung Arjuno. Bahkan letak bekas ibukota Tumapel lebih lurus di timur Gunung Arjuno daripada Gunung Kawi.
Rujukan:
Pigeaud, Th G T. 1924. De Tantu Panggelaran. Leiden: s’Gravenhage, Nederl. Boek en Steendrukkerij voorheen H.L. Smits. 
Munib, NB. 2011. Dinamika Kekuasaan Raja Jayakatyeng di Kerajaan Glang-Glang Tahun 1170-1215 Çaka: Tinjauan Geopolitik. Skripsi, Malang: FIS UM

NB : Tulisan ini merupakan hasil "Migrasi" dari www.artiistilah.blogspot.com (alm)

[1] Terdapat pada penutup kitab “tlas (s)inurat sang hyang tantu panglaran ring karangkabhujanggan kutritusan, dina u(manis) bu(dha) madangsya, titi sasi kasa, rah 7, tengek 5, rsi pandawa buta tunggal(1557)”(Pigeaud, 1924)
[2] Nama kuno wilayah India
[3] Nama kuno Gunung Lawu
[4] Nama kuno Gunung Kelud

Kesucian Gunung Lawu

Oleh : Novi BmW

Gunung Lawu merupakan salah satu gunung suci dari sembilan gunung suci di Jawa. Perihal kesuciannya tersebut diabadikan dalam Kitab Tantu Panggelaran. Kitab ini berasal dari tahun 1557 Saka (1635 M)[1]. Dalam kitab ini diceritakan tentang proses pemindahan Gunung Mahameru oleh para Dewa dari tanah Jambudwipa[2] ke pulau Jawa, dan terbentuknya gunung-gunung di Jawa. Beginilah kisahnya:
Col andap kulwan, maluhur wetan ikang nuşa jawa; yata pinupak sang hyang mahāmeru, pinalih mangetan. Tunggak nira hana kari kulwan; matangnyan hana argga kelāça ngarannya mangke, tunggak sang hyang mahāmeru ngūni kacaritanya. Pucak nira pinalih mangetan, pinutĕr kinĕmbulan dening dewata kabeh; runtuh teka sang hyang mahāmeru. Kunong tambe ning lĕmah runtuh matmahan gunung katong;................(Pigeaud, 1924).
Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
Dilepaskan turun di sebelah barat, menuju ke timur pulau Jawa. kemudian dilepaslah Sang Hyang Mahameru, dipindah ke timur. Dasarnya tertinggal di barat. Oleh sebab itu terciptalah gunung yang bernama Kailaca nanti. Mengenai Sang Hyang Mahameru beginilah ceritanya. Puncaknya dipindah ke timur, dikitari oleh semua para dewa; runtuh dari Sang Hyang Mahameru. Setelah jatuh ke tanah terciptalah Gunung Katong;..................(Munib, NB. 2011).
Dari kutipan di atas, Gunung Lawu disebut dengan nama kunonya, yaitu Gunung Katong. Reruntuhan pertama dari rentetan guguran Sang Hyang Mahameru dari india di tanah Jawa adalah Gunung Katong. Jadi, sebagai salah satu bagian dari Sang Hyang Mahameru maka Gunung Katong atau yang sekarang disebut sebagai Gunung Lawu adalah gunung suci bagi umat Hindu. Kesucian tersebut dapat pula dilihat dari ditemukannya bangunan suci berupa Candi Sukuh, Candi Ceto, Candi Sadon dan beberapa pusat kerajaan yang tumbuh kembang di sekitarnya. Sebutlah Kerajaan Wengker, Kerajaan Jagaraga dan Kerajaan Gelang-Gelang pernah berkembang di lembah timur Gunung Lawu.
Rujukan:
Pigeaud, Th G T. 1924. De Tantu Panggelaran. Leiden: s’Gravenhage, Nederl. Boek en Steendrukkerij voorheen H.L. Smits. 
Munib, NB. 2011. Dinamika Kekuasaan Raja Jayakatyeng di Kerajaan Glang-Glang Tahun 1170-1215 Çaka: Tinjauan Geopolitik. Skripsi tidak diterbitkan: FIS UM
NB : Tulisan ini merupakan hasil "Migrasi" dari www.artiistilah.blogspot.com


[1] Terdapat pada penutup kitab “tlas (s)inurat sang hyang tantu panglaran ring karangkabhujanggan kutritusan, dina u(manis) bu(dha) madangsya, titi sasi kasa, rah 7, tengek 5, rsi pandawa buta tunggal(1557)”(Pigeaud, 1924)
[2] Nama kuno wilayah India

Kyai Wiradipura Asta Tinggi

Oleh : Novi BmW

Pada Hari Minggu lalu (17/02/2013) Komunitas Songenep Tempo Doeloe (Sepoloe) telah mengadakan kunjungan Situs Makam yang tidak terawat di Asta Tinggi, Kabupaten Sumenep. Salah satu yang menarik perhatian adalah sebuah bangunan berbentuk Kubah, yang di dalamnya terdapat dua makam kuno. 
Cungkup Kubah Makam Kyai Wiradipura
Foto : Novi BmW, 17/02/2013

Menurut penuturan salah seorang pengurus Makam Asta Tinggi bangunan itu merupakan makam KH. Abdul Hadi. Siapakah tokoh ini?? Belum ada yang mengetahuinya, oleh karenanya Tim yang hadir hari tersebut, ingin melacak siapakah beliau dan apakah hubungan beliau dengan para penguasa Sumenep, hingga dimakamkan dalam bangunan Kubah di Asta Tinggi, yang biasanya hanya diperuntukkan untuk tokoh berpengaruh di Kerajaan Sumenep.

Pada batu nisan kedua makam dalam kubah, terdapat prasasti beraksara Arab dan berbahasa Jawa. Salah satu prasasti masih dapat dibaca dengan jelas, yaitu makam pria yang berbunyi :

"Hadal qubur Kyaahii 
Wirodipuro 'Amun Pangeran
Natakusuma minal umi fi biladi
Sumenep, Hijrati Nabi 
51.......... 1251"[1]
artinya:
 "Ini kubur(makam) Kyai
Wirodipuro Paman Pangeran
Natakusuma dari ibu di negeri
Sumenep, Hijrah Nabi
51........1251”
Tokoh yang dimakamkan dalam bangunan Kubah ini bernama Kyai Wiradipura, dan sama sekali tidak ditemukan nama KH. Abdul Hadi. Sedangkan makam yang berada disebelah makam Kyai Wiradipura menunjukkan model batu nisan untuk kaum perempuan, diperkirakan merupakan makam Istrinya. Sayang sekali prasasti pada batu nisan makam tersebut telah aus dan sulit untuk dibaca ulang.
Batu nisan makam Kyai Wiradipura
Foto : Novi BmW, 24/02/2013
Dari prasasti dalam batu nisan Kyai Wiradipura dijelaskan pula hubungannya dengan salah satu penguasa Sumenep. Beliau ternyata merupakan Paman dari Pangeran Natakusuma, penguasa Sumenep pada tahun 1762-1811. hubungan paman-keponakan tersebut berasal dari ibu Pangeran Natakusuma.

Muncul pertanyaan, siapakah Ibu Pangeran Natakusuma?

Jika Kyai Wiradipura adalah paman Pangeran Natakusuma (R. Arya Asirudin) dari garis Ibu, maka ada dua kemungkinan.
  1. Kyai Wiradipura adalah saudara ibu kandung Pangeran Natakusuma, yaitu Nyai Izza.
  2.  Kyai Wiradipura adalah saudara ibu tiri Pangeran Natakusuma, yaitu RA. Rasmana Tirtanegara. 
Pangeran Natakusuma atau Panembahan Somala sebenarnya bernama Raden Arya Asirudin. Ia merupaka anak tiri dari pewaris tahta Sumenep yang sah saat itu, yakni RA. Rasmana Tirtanegara. Sedangkan ayah kandungnya adalah Bindara Saud, dipersuamikan RA. Rasmana Tirtanegara, yang kemudian bergelar R. Tumenggung Tirtanegara. Karena pernikahan antara Bindara Saud dengan RA. Rasmana Tirtanegara tidak memiliki keturunan langsung, maka atas perintah RA. Rasmana sendiri, yang dijadikan pewaris tahta Sumenep adalah Raden Arya Asirudin (Zulkarnain, I. Dkk. 2003).

Ibu kandung Pangeran Natakusuma bernama Nyai Izza. ia adalah putri dari Kyai Djalaludin yang masih keturunan Sunan Kudus. Bendara Saod dan Nyai Izza bermukim di area Pondok Pesantren Lembung Barat (sekarang Kec. Lenteng). Makam Nyai Izza sekarang berada di dekat Masjid Lembung Barat (Zulkarnain, dkk. 2003).

Jika Kyai Wradipura merupakan saudara Nyai Izza, maka boleh dikatakan dia keluarga para Ulama Sumenep. Gelar "Kyai" yang ia sandang merupakan bukti diakuinya ia sebagai guru agama/pemimpin agama di Keraton Sumenep.
Pada akhir prasasti dalam batu Nisan Kyai Wiradipura, kita mendapatkan tahun wafatnya beliau, yaitu pada tahun 1251 hijriyah (1836 M). Pada Tahun 1251 H (1836 M) yang menjadi penguasa Sumenep adalah putra Pangeran Natakusuma, yaitu Sultan Abdurrahman Pakunataningrat (1811-1854 M).

Peran Kyai Wiradipura selain sebagai bangsawan kerajaan, juga menjadi ulama/guru agama para bangsawan. Kemungkinan Pangeran Natakusuma dan Sultan Abdurrahman Pakunataningrat merupakan muridnya pula.

Blusuker Komunitas Songenep Tempo Doeloe (Sepoloe)
Foto : Novi BmW 24/02/2013
Jika demikian maka tidak pantaslah jika makam tokoh ulama, guru bagi pemimpin Sumenep dibiarkan terbengkalai tanpa perawatan yang baik.  Ungkapan “buppa’-bhabhu, ghuru, rato” ternyata tidak berlaku dalam kasus ini. Posisi Kyai Wiradipura, selain keluarga pemimpin juga termasuk guru agama para pemimpin Sumenep.

Apa yang dialami pada makam Kyai Wiradipura berbanding terbalik dengan kompleks makam di sebelah baratnya (murit-muritnya). Asta Tinggi 24 jam terus di jejali peziarah dari berbagai daerah di negeri ini, namun kebanyakan berziarah ke makam para murit Kyai Wiradipura. Sedangkan makam Ulama keraton yang telah membimbing para Raja, tertutup semak belukar, terlupakan begitu saja. Ter-La-Lu

Sumber :
Zulkarnain, I. Dkk. 2003. Sejarah Sumenep. Sumenep: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumenep.

NB : Jika para peziarah dengan mudah menyetempel makam wali Negara sebagai makam "Wali". maka saya sarankan di setiap nisan para bapak dan ibu di seluruh dunia juga di beri stempel "Wali" karena kalian adalah "Wali Murid"

[1] Titik-titik menunjukkan adanya kalimat yang belum dapat di baca/terjemahkan oleh penulis, semoga pembaca ada yang dapat melanjutkan pembacaan ini.