Gunung Penanggungan (Foto : Novi BmW, 17/12/2007) |
Col andap kulwan, maluhur
wetan ikang nuşa jawa; yata pinupak sang hyang mahāmeru, pinalih mangetan.
Tunggak nira hana kari kulwan; matangnyan hana argga kelāça ngarannya mangke,
tunggak sang hyang mahāmeru ngūni kacaritanya. Pucak nira pinalih mangetan,
pinutĕr kinĕmbulan dening dewata kabeh; runtuh teka sang hyang mahāmeru. Kunong
tambe ning lĕmah runtuh matmahan gunung katong; kaping rwaning lmah runtuh
matmahan gunung wilis; kaping tiganing lmah runtuh matmahan gunung kampud;
kaping pat ing lmah runtuh matmahan gunung kawi; kaping limaning lmah runtuh
matmahan gunung arjuna; kaping nĕm ing lmah runtuh matmahan gunung kumukus.
Goweng sisih ring iswar dening
runtuh sang hyang mahāmeru, yata condong mangalwar pangadĕgnira, (molah pukah
pucaknira). Yata inadĕgakĕn dening watĕk dewata pucak sang hyang mahāmeru. Ih
pawitra ling ning dewata kabeh; yata ring pawitra ngaranya mangke pucak sang
hyang mahāmeru kacaritanya ngūni.......(Pigeaud, 1924).
Terjemahan dalam
bahasa Indonesia:
Dilepaskan
turun di sebelah barat, menuju ke timur pulau Jawa. kemudian dilepaslah Sang
Hyang Mahameru, dipindah ke timur. Dasarnya tertinggal di barat. Oleh sebab itu
terciptalah gunung yang bernama Kailaca nanti. Mengenai Sang Hyang Mahameru
beginilah ceritanya. Puncaknya dipindah ke timur, dikitari oleh semua para
dewa; runtuh dari Sang Hyang Mahameru. Setelah jatuh ke tanah terciptalah
Gunung Katong[3];
yang kedua tanah jatuh menciptakan Gunung Wilis; yang ketiga tanah runtuh
tercipta Gunung Kampud[4];
yang ke empat pada tanah yang runtuh tercipta Gunung Kawi; yang kelima tanah
runtuh menciptakan Gunung Arjuno; yang keenam tanah runtuh menciptakan Gunung
Kamukus[5].
Rusaklah bagian bawah setelah
runtuhnya Sang Hyang Mahameru, lebih ke arah utara berdiri tegak (bagian
potongan puncaknya). Di sanalah berdiri tempat para dewa di puncak Sang Hyang
Mahameru. Di pindah ke Pawitra maksud para dewa semua, disebut Pawitra nanti
puncak Sang Hyang Mahameru, seperti diceritakan tadi....….(Munib, NB. 2011).
Dari kutipan di atas, diketahui bahwa nama “penanggungan”
belum umum digunakan, dalam Tantu Panggelaran masih digunakan nama “pawitra”. Pada Prasasti Cunggrang (851
Saka) peninggalan Raja Sindok, di sebutkan pula nama “pawitra” berkenaan tentang banguna-bangunan suci di lereng timur
Gunung Pawitra[6].
Gunung Penanggungan merupakan runtuhan ketujuh setelah Gunung Kamukus (Welirang) dari rentetan guguran Sang Hyang Mahameru yang dipindah dari india ke tanah Jawa. Jadi, sebagai salah satu bagian dari Sang Hyang Mahameru maka Gunung Penanggungan adalah gunung suci bagi umat Hindu. Kesucian tersebut dapat pula dilihat dari ditemukannya bangunan suci berupa reruntuhan bangunan suci di lereng-lerengnya, seperti Pathirtan Belahan (Sumber Tetek), Pathirtan Jolotundo, dan masih banyak lagi reruntuhan bangunan suci di lereng hingga puncak Gunung Penanggungan.
Sumber Tetek (Foto : Novi BmW, 14/03/2009) |
Dahulu di lereng barat Gunung Penanggungan pernah
berdiri pusat pemerintahan Raja Airlangga, yang bernama wwatan mas. Hingga kini bangunan benteng serta gapura megah masih
tetap kokoh berdiri di Desa Wotanmasjedong, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto.
Bangunan tersebut adalah situs Gapura Jedong atau lebih dikenal masyarakat
dengan nama Candi Jedong.
Situs Wotanmas Jedong (Foto : Novi BmW, 14/03/2009) |
Konsep terciptanya deretan gunung di pulau Jawa, yaitu
proses pemindahan Gunung Meru dari India ke Jawa sepertinya adalah upaya
pemindahan kosmologi Hindu-India ke Hindu-Jawa. Kesucian gunung-gunung di tanah
Jawa sama dengan kesucian Gunung Meru. Puncak Meru yang disebut “Kailaca” sama
dengan kesucian Gunung Pawitra, karena menurut kosmologi Hindu-Jawa, Pawitra
merupakan puncak Kailaca yang dipindah ke Pulau Jawa. Kondisi fisik Gunung
Penanggungan pun serupa dengan konsep Meru yang memiliki lima puncak, dimana
empat puncak yang lebih rendah mengelilingi puncak tertingginya.
Rujukan:
Brandes,
J.L.A. 1913, Oud Javaancshe Oorkonden, Albrecht
& Co, Batavia
Pigeaud, Th G T. 1924.
De Tantu Panggelaran. Leiden: s’Gravenhage, Nederl. Boek en Steendrukkerij voorheen H.L. Smits.
Munib, NB. 2011. Dinamika Kekuasaan Raja Jayakatyeng di Kerajaan Glang-Glang Tahun 1170-1215 Çaka: Tinjauan Geopolitik. Skripsi, Malang: FIS UM
Munib, NB. 2011. Dinamika Kekuasaan Raja Jayakatyeng di Kerajaan Glang-Glang Tahun 1170-1215 Çaka: Tinjauan Geopolitik. Skripsi, Malang: FIS UM
NB : Tulisan ini merupakan hasil "Migrasi" dari www.artiistilah.blogspot.com (alm)
[1] Terdapat pada
penutup kitab “tlas (s)inurat sang hyang
tantu panglaran ring karangkabhujanggan kutritusan, dina u(manis) bu(dha)
madangsya, titi sasi kasa, rah 7, tengek 5, rsi pandawa buta tunggal(1557)”(Pigeaud,
1924)
[2] Nama kuno wilayah
India
[6] Bangunan karsyan
yang di sebut “Sang hyang dharmmacrama
ing pawitra” dan sebuah pemandian suci yang disebut“sang hyang tirtha pancuran ing paawitra” (Brandes, 1913)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar