Oleh: Novi BMW
Gunung Kamput
merupakan nama kuno dari gunung Kelut yang terletak di perbatasan antara Kab.
Kediri di sebelah Barat, Kab. Malang di sebelah Timur dan Kab. Blitar di
sebelah Selatan Propinsi Jawa Timur. Namun danau kawah secara administrasi ikut
daerah Kabupaten Kediri. Daerah ini sangatlah erat hubungan sejarahnya dengan
Sungai Brantas dan Gunung Kamput sebagai sumber kesuburan, kemakmuran, berkah
alam dan sekaligus musibah. Apabila keadaan alam di sekitar Kediri ini diselidiki
sepanjang masa dapat ditentukan, bahwa daerah antara Gunung Wilis dan Gunung
Kamput ini selalu diganggu oleh bah dari sungai Brantas dan bukit (gunung)
Kelut yang mengakibatkan bencana alam besar.
Letusan
Gunung Kamput memiliki pengaruh besar terhadap peradaban di sepanjang lembah
sungai Brantas, terutama di bumi Kadiri dan sekitar. Di dataran rendah Kediri
pernah berdiri kerajaan yang terkenal, yaitu Kerajaan Panjalu dengan ibu kota
kerajaannya di Dahanapura (Prasasti Pamwatan 1042 M, Pararaton, Negararkertagama,
Babad kadhiri), Katangkatang (Prasasti Kamulan: 1116C/1194M), dan Mamenang (babad
Kadhiri). Lokasinya yang berada di pertengahan aliran Sungai Brantas dan di
pusat daerah Jawa bagian Timur sangatlah strategis untuk mempengaruhi kondisi
lingkungan sekitarnya. Hal ini tidaklah mengherankan jika letusannya yang
dahsyat sering di sebutkan dalam beberapa tulisan pujangga-pujangga kerajaan di
daerah Jawa bagian Timur, contoh dalam Negarakretagama dan Pararaton. Setelah
karajaan Panjalu runtuh, daerah subur tersebut tetap digunakan untuk aktifitas
penting umat Hindu-Budha di bawah kekuasaan kerajaan-kerajaan penggantinya,
seperti kerajaan Singhasari, Kerajaan Majapahit sampai akhir pengaruh Kerajaan
Hindhu-Budha di Jawa.
Masa kerajaan Panjalu/Kadiri sangatlah terkenal dengan
kesuburan susastra Jawa kuna. Pada masa ini banyak terlahir karya-karya
susastra besar, seperti kitab Smaradahana gubahan mpu Dharmaja, Bharatayuddha
gubahan mpu Sedah(1157M) dan diteruskan mpu Panuluh yang juga membuat kitab Hariwangca
dan Gatotkacacraya. Ada beberapa lagi yang terkenal : Lubdhaka dan Wrtasancaya
buah tangan mpu Tanakung, Kresnayana karangan mpu Triguna dan Sumanasantaka karangan
mpu Monaguna (Soekmono, 1973: 58). Kebesaran Raja Panjalu/Kediri diabadikan
dalam beberapa karya sastra yang dikenal sampai mancanegara, bahkan sampai
sekarang pun masih dikenal, semisal Jongko Joyoboyo yang dikenal sebagai
ramalan dari Raja Joyoboyo (1130-1160M) dan cerita-cerita Panji (Kamecwara).
Dalam
bukunya Wirjosuparto (tanpa tahun) yang
berjudul Apa Sebabnya Kediri Dan Daerah Sekitarnya
Tampil Kemuka Dalam Sejarah dikatakan bahwa, jika semakin besar tantangan
yang dihadapi sebuah bangsa semakin besar kemungkinan-kemungkinan yang
mendorong bangsa tersebut lahir sebagai bangsa yang berkebudayaan. Hal ini didasari dari teori
Arnold J. Toynbee yaitu tantangan dan tanggapan. Namun pengaruh dari Gunung
Kamput hanya disinggung sekilas saja oleh Wirjosuparto, bahkan lebih kepada
cerita-cerita mitologinya. Begitu pula dengan buku Sejarah Nasional Indonesia jilid II, walaupun diterangkan sejarah
kerajaan Panjalu namun pengaruh keberadaan Gunung Kamput tidak diulas. Kajian
mengenai pengaruh alam daerah Kadiri sering dibahas, namun kajian-kajian yang
selama ini dibahas lebih menonjolkan peran Sungai Brantas terhadap keberadaan
peradaban besar di Kadiri. Oleh karena itu perlu penyeimbang dengan mengangkat
Gunung Kamput dalam kajian pengaruhnya terhadap keberadaan pusat peradaban di
Bumi Kadiri.
Dari beberapa penemuan arkeologis di
akhir abad ke-20 sampai tahun 2008, bukti peradaban besar masa Kerajaan Kadiri
banyak ditemukan di bawah permukaan tanah rata-rata, seperti Situs Kepung,
Situs Dorok, Situs Tondowongso dan Situs Gurah. Lapisan-lapisan tanah yang menimbun
situs-situs tersebut diidentifikasi berasal dari material-material akibat
letusan Gunung Kamput. Dari penemuan tersebut sangatlah menarik perhatian untuk
membahas seberapa besar pengaruh keberadaan Gunung Kamput terhadap Kerajaan
Panjalu di Kadiri.
1. Keadaan
Alam Sekitar Gunung Kamput
Gunung Kamput adalah salah satu gunungapi di Provinsi
Jawa Timur, Indonesia, yang masih aktif. Gunung Kamput bertipe Strato andesit
dengan danau kawah dan termasuk gunung vulkanik yang sulit diprediksi. Gunung
ini memiliki ketinggian 1731 m. Puncak kawah gunung ini, terletak di Kecamatan
Ngancar, Kabupaten Kediri. Dengan adanya danau kawah di puncaknya, merupakan
senjata yang sangat membahayakan bagi masyarakat di sekitar jalur aliran lahar
gunung Kamput. Gunung ini berada di perbatasan antara Kabupaten Kediri,
Malang dan Kabupaten Blitar, atau sekitar 27 km sebelah timur Kota Kediri.
|
Gunung Kelud, di ambil dari atas Kali Lahar Bladak (10 Mei 2008) |
Di sebelah timur Gunung Kamput berbatasan dengan Gunung
Kawi dan Butak. Sebelah Utara berjajar Gunung Anjasmoro, Welirang dan Arjuna.
Sebelah selatan dataran rendah Blitar dan disambung pegunungan kapur selatan.
Untuk sebelah Barat Gunung Kelut menjulang tinggi gunung Wilis, yang dibelah
oleh sungai Brantas dengan lembahnya yang sangat subur, lembah inilah yang
sekarang menjadi daerah Kediri. Sungai
Brantas berhulu di dataran tinggi Malang dan hilirnya di selat Madura.
Menurut
sejarah geologinya, seluruh dataran rendah lembah Brantas dari Blitar hingga
Mojokerto dulunya mewujudkan suatu teluk lautan yang menjorok cukup dalam
dengan melengkung ke tubuh Jawa Timur. Kemudian teluk ini terisi dengan elfata
gunung-gunung api, terutama Kelud yang ledakan hebatnya terakhir terjadi pada
tahun 1919 dan 1951. Sebagian elfatanya dibawa oleh angin, sebagian lagi oleh
air sungai Brantas, sehingga melalui dua proses ini terbentuklah dataran rendah
Kediri. Di sekitar kota Kertosono elfata lebih terdiri atas kerikil dan pasir
kasar. Sementara itu hujan-hujan lebat di lereng selatan gunung Kawi mengadakan
erosi yang hebat dari masa-kemasa sehingga air sungai brantas mengangkuti tanah
lixivium merah untuk diendapkan sehabis banjir di daerah Kediri. Juga dari daerah
dataran rendah ini datang endapan tanah kapur yang berwarna kelabu berasal dari
anak-anak sungai Brantas yang bermata air di pegunungan Kidul daerah
Trenggalek, ditambah lagi dengan endapan tanah berwarna coklat yang berasal
dari gunung Wilis. Dengan demikian pada pedolog dapat menerangkan bagaimana
terjadinya tipe tanah di derah Kediri yang baik untuk pertanian padi dengan
unsur-unsur berupa andesit, veldspat dan augit(dari elfata kelud) yang
bercampur dengan bagian-bagian halus dari tanah merah lixivium (lumpur tanah
napal yaitu margalit yang mengandung kwarsa, liat dan kapur) (Daldjoeni, 1992:89).
Letusan
Gunung Kamput mempengaruhi perkembangan delta di muara Sungai Brantas, semakin
banyak material vulkanik yang dibawa semakin cepat pembentukan delta di
muaranya. Gunung ini meletus secara periodik antara 15-30 tahun sekali dan
setiap letusan mengeluarkan bahan-bahan vulkanik rata-rata 100 juta meter kubik.
Dalam buku-buku sejarah (Negarakretagama pupuh I.4; PJ. Veth “Java”III hal 751) letusan-letusan Gunung
Kelud yang disertai segala bencananya telah terjadi pada tahun-tahun: 1344,
1811, 1828, 1835, 1848, 1868, 1875. Dalam kitab Pararaton (Tidak sepenuhnya ini
dapat dipercaya) disebutkan kejadian-kejadian yang dapat dihubungkan dengan
kegiatan Gunungapi yang terjadi pada tahun-tahun: 1311, 1334, 1389, 1421, 1440,
1462,1481. Letusan-letusan Gunung Kelud yang banyak ditulis dalam buku-buku
Biologi terjadi pada tahun-tahun: 1873,1901,1919,1951, 1966 (Mustopo, 2002:
14).
2. Pengaruh Gunung Kamput terhadap peradaban kerajaan masa
Hindu-Budha di Bumi Kadiri
Dalam kitab
Pararaton disebutkan kejadian-kejadian yang dapat dihubungkan dengan kegiatan gunung
api yang terjadi pada tahun-tahun: 1311, 1334, 1389, 1421, 1440, 1462,1481.
Pada letusan tahun 1334 disebut tentang Peristiwa Guntur Pabanyu Pindah, lalu apanya yang berhubungan dengan letusan
Gunung Kamput? Peristiwa ini dalam Negarakertagama diberitakan dengan jelas
saat dihubungkan dengan tanda-tanda kelahiran Hayam Wuruk. Dalam
Negarakertagama Pupuh 1 ayat 4 disebutkan:
“Ring Saka rttu carena rakwa ri wijil / nrpati
tlas inastwaken/ prabhu,an/garbbhecwara natha ring kawuripan/ wihaganiran
amanusadbhuta, lindun bhumi ktug hudan hawu gerh kilat awltan ing nabasthala,
Guntur ttang himawan/ ri Kamput ananang kujana kuhaka mati tanpagap”(Pigeaud,
1960:3)
Artinya:
“Tahun saka masa memanah surya (1256 C/ 1334 M)
beliau lahir untuk jadi narpati
selama dalam kandungan di kahuripan, telah tampak tanda keluhuran Gempa bumi,
kepul asap, hujan abu, guruh halilintar menyambar-nyambar, Gunung Kamput,
gemuruh membunuh durjana, penjahat musnah dari Negara”(Muljana, 2006:338).
Tahun 1586 merenggut korban lebih dari 10.000 jiwa dan
diperkirakan memiliki kekuatan letusan atau Volcanic Explosivity Index
(VEI): 5. Kira-kira setara letusan Pinnatubo tahun 1991(www.kediri.go.id, diakses 04 September 2008). Pinatubo
merupakan gunung berapi di Filipina, letusan tahun 1991 mengakibatkan
menghilangnya puncak gunung yang asalnya mengerucut berubah menjadi danau kawah
yang lebar. Bila letusan Gunung Kamput tahun 1586 memiliki kekuatan letusan
seperti Pinnatubo, maka pasti terjadi letusan dahsyat yang mengangkat puncak
gunung Kamput serta mengakibatkan daerah Kediri dan Blitar porakporanda.
Dilihat dari foto udara,
kawah gunung Kelut dahulu lebih memiliki arah laju lahar besar ke kali lahar Gedog,
yang memiliki rute, kawah-lereng utara G. Oemboh- desa Bendorejo-Sumberejo dan Sumberdadi-mengancam
daerah Keras. Dan arah lahar Koetungan rute, Kawah- Puncu-Jengkol
Plosoklaten-Gurah-Gampengrejo dan Pagu. Adapun kali lahar Mangli yang menuju
daerah Kepung lewat sungai Konto melalui daerah Kediri utara.
Sekarang
rute aliran lahar terbesar daerah Blitar antara lain Kali Lahar diatas desa
Tjemarasewu sungai ini bertjabang menjadi kali lahar Blitar(menuju kota Blitar)
dan kali lahar Temas/Bladak. Di Desa Beketjek kali ini berjabang dua lagi yaitu
kali lahar Blitar yang menuju kota Blitar dan kali Ngaglik dan kali tjerme, di
dekat persimpangan kali lahar blitar dan kali tjerme, di dekat persimpangan
kali lahar blitar dibuat sebuah bom dam besar yang di namakan dam Bladak (koleksi arsip ekonomi uang dan pembangunan
no. 573). Lahar Kali Putih melewati
daerah Talun dan bermuara di Sungai Brantas, begitu juga Lahar kali Lekso
melewati daerah Wlingi dan berakhir di sungai Brantas.
Letusan
Gunung Kamput tahun 1919,1951,1966,dan 1990 merupakan letusan besar yang
menimbulkan kerusakan yang diakibatkan material letusan primer maupun yang di
akibatkan terjangan air Lahar. Namun dibanding dengan akibat letusan sebelum
tahun 1919 dan jauh masa kerajaan Hindu-Budha dahulu pastinya memiliki kekuatan
aliran lahar yang sangat kuat melebihi tahun 1919 ke atas.
Hal tersebut disebabkan
telah dilakukannya upaya pengendalian gunung kelut yang dimulai pada tahun
1907-1928 masa kolonial Belanda dan setelah kemerdekaan, yaitu upaya
pengurangan volume air danau kawah gunung Kamput dengan membuat terowongan
pembuangan air keluar kawah.
Bukti
bahwa arah aliran lahar gunung Kamput dahulu ke arah daerah Kediri dan menyembunyikan bukti-bukti peradaban masa
Kerajaan Hindhu Budha adalah dengan di ketemukan situs situs sejarah yang
terpendam dalam material vulkanis gunung Kamput. Situs
situs tersebut antara lain:
a.
Situs Candi Kepung, terletak
di dukuh Jatimulyo, Desa Krenceng Kab. Kediri.
Situs ini berupa Patirtaan yang tertimbun tanah hasil letusan gunung Kamput
sedalam kurang lebih 7 meter. Situs ini terkena aliran lahar Mangli dari Sungai
Konto yang memecah menjadi Sungai Harinjing/Srinjing.
b.
Situs Candi Dorok, di Desa Manggis Kec. Puncu Kab. Kediri. Situs ini
tertimbun lebih dari 3 Meter. Situs ini jauh dari sungai, mungkin dahulu di
sekitar situs terdapat sungai tapi terkena material vulkanik langsung dari
letusan Gunung Kamput dan akhirnya mati.
|
Candi Dorok |
c.
Situs Candi Kali Pesu, di desa Pagu Kec. Wates tertimbun lebih dari 3
Meter. Situs ini di pinggir Kali pesu, yang memiliki hulu di lereng barat
gunung Kelut, memiliki akses lahar dari lahar Gedog.
|
Situs Kali Pesu (03 November 2011) |
d.
Situs Tondo Wongso, berupa areal kompleks percandian, di desa Gayam Kec.
Gurah, tertimbun material lahar lebih dari 4 meter. Situs ini dapat akses lahar
dari kali lahar Ngobo dan kali lahar Petungan dari daerah Puncu turun ke
plosoklaten dan akhirnya tiba di Gurah.
|
Situs Tondowongso |
|
e.
Situs Baruklinting, di desa Wonojoyo Kec. Gurah Kab. Kediri. Berupa candi dan
kubur tempayan, Yoni dan pondasi candi tertimbun sekitar 2 meter dari permukaan
tanah untuk Candi dan lebih dari 3 meter untuk kubur tempayan. Sama halnya dengan situs Kali Pesu situs Baruklinting ini dapat
akses lahar dari kali lahar Gedog.
f.
Situs Sumber Cangkring, di
desa Sumbercangkring kec. Gurah, Berupa reruntuhan candi sekitar 1 meter dalam
tanah. Situs ini di dekat Sungai lahar petungan berhulu di daerah Puncu, lereng
barat gunung Kelut.
|
Candi Sumber Cangkring (11 Pebruari 2008) |
g.
Situs Semen. Reruntuhan
pondasi bangunan, di desa Semen kec. Gampengrejo Kab. Kediri. Tertimbun 1 meter. Situs ini ada di sekitar hilir kali lahar
petungan dan dekat dengan kawasan Memenang yang di identifikasi sebagai bekas
ibu Kota
kerajaan Daha. Daerah Kec. Pagu dan Gampengrejo merupakan daerah yang memiliki
simpanan situs arkeologis yang sangat kaya, masa Kadiri, di perkirakan lokasi
ibu kota
Dahanapura berada di daerah ini.
h.
Situs Gurah yang di temukan pada tahun
1957 di desa Gurah kec. Gurah Kab. Kediri. Hasil penemuan situs ini
telah ditulis oleh R. Soekmono dalam bukunya yang berjudul Gurah, The Link Between The Centeral And The
East-Javanese Arts.
Dari
penemuan situs-situs sejarah di atas dapat kita ketahui bahwa dahulu pernah ada
peradaban besar dan benarlah bahwa dahulu Bumi Kadiri pernah dijadikan pusat
peradaban yang besar oleh manusia-manusia berkebudayaan tinggi.
Gunung Kamput merupakan
Gunungapi aktif yang memiliki peran sangat besar dengan kombinasi serasi
bersama Sungai Brantas. Endapan-endapan material vulkanis menyebabkan kesuburan
tanah di sepanjang aliran sungai Brantas dari lembah Blitar sampai pembentukan
delta di hilir Sungai Brantas. Hal ini merupakan salah satu alasan pemilihan
daerah Kadiri sebagai pusat peradaban masa Hindhu Budha dahulu.
Selain kesuburan tanah di antara lembah sungai
Brantas-Gunung Kamput, kedua Keajaiban alam tersebut juga membawa bencana yang
cukup besar. Banjir dari sungai Brantas tiap tahun dan letusan gunung kamput yang
dahsyat, membuat masyarakat di Bumi Kadiri berjuang tiap tahun untuk bersahabat
dengan alam lingkungannya. Hal ini sesuai dengan teori yang di kemukakan oleh
Arnold J. Toynbee, yaitu tantangan dan tanggapan/jawaban. Sungai Brantas dengan
banjir bandang setiap tahun dan gunung kamput selain letusan primernya, juga
terjangan lahar yang sering menyapu
daerah Blitar dan Kadiri, merupakan tantangan bagi masyarakat di bumi Kadiri.
Benarlah istilah yang sering diucapkan oleh masyarakat di Bumi Kadiri perihal letusan
gunung Kamput “Blitar dadi Latar,
Tulungagung dadi kedung, Kediri dadi kali”.
Semakin besar tantangan yang dihadapi sebuah bangsa
semakin besar kemungkinan-kemungkinan yang mendorong bangsa tersebut lahir
sebagai bangsa yang berkebudayaan. Dengan ini Toynbee telah meyakinkan, bahwa
pertumbuhan sesuatu kebudayaan itu tidak semata-mata tergantung kepada keadaan
alam di sekitar tempat kediaman sesuatu bangsa dan tergantung kepada jenis
bangsa (race) yang menciptakannya, melainkan tergantung kepada tangan yang di
tujukan sesama bangsa tersebut. Ini tidak berarti, bahwa Toynbee mengabaikan
sama sekali faktor keadaan alam dan jenis bangsa, tetapi kedua faktor itu harus
dilihat dari sudut baru, ialah sudut pertentangan tantangan dan
jawaban (Wirjosuparto, tanpa tahun: 9).
Selain teori tersebut model pendekatan Ekologi budaya
yang dikemukakan Julian H. Steward bisa juga untuk mengkaji masalah ini. Dimana
kebudayaan dengan lingkungan alam memiliki hubungan sebab akibat yang saling
mempengaruhi suatu Bangsa dengan inti budayanya. Yang dimaksud inti budaya
adalah beberapa aspek kehidupan pembentuk bangsa. Sebagai contoh aspek Religi,
aspek Mata pencaharian (ekonomi), aspek seni, aspek tekhnologi, Sistem
pemerintahan, dan aspek-aspek kehidupan masyarakat lainnya.
Masyarakat pada masa kerajaan Panjalu dapat berhubungan
baik bersama lingkungan alam di Bumi Kadiri, dengan cara beradaptasi dan
mengolah sumberdaya alam di Bumi Kadiri. Keberadaan gunung Kamput telah
mempengaruhi beberapa aspek kehidupan(inti budaya) sebagai contoh bukti adalah
dari aspek religi dan tekhnologi, pembangunan Candi Palah (Penataran) sebagai
tempat pemujaan terhadap Dewa Gunung (G. Kamput) sekaligus bukti telah
ditemukannya teknologi pembangunan tempat keagamaan dan kenegaraan. Selain itu
terdapatnya keseimbangan unsur Pancamahabuta
yaitu unsur tanah, air (S. Brantas dan anak Sungainya), api(G. api Kamput), dan udara sangatlah cocok Bumi
Kadiri dijadikan pusat peradaban masyarakat Hindu-Budha. Dari aspek Mata
Pencaharian (ekonomi) masyarakat memanfaatkan tanah yang subur sebagai lahan
pertanian, terutama padi sebagai komoditi eksport.
Aspek Seni, walaupun masih banyak misteri yang belum
terungkap namun masa Kadiri dari seni bangunan memiliki corak yang Khas, hal
ini disebutkan oleh R. Soekmono(1998) dalam bukunya yang berjudul Gurah, The Link Between The Centeral And The
East-Javanese Arts bahwa penemuan situs candi di daerah Gurah tahun 1957
merupakan situs peninggalan masa Kerajaan Panjalu yang seni bangunnya merupakan
peralihan antara langam seni masa pusat kerajaan Hindu-Budha di Jawa bagian
Tengah dengan pusat kerajaan Hindu-Budha di Jawa bagian Timur. Munculnya karya
tulis yang tersohor merupakan bukti keberhasilan Kerajaan Panjalu berhasil
berhubungan baik dengan keadaan alam
sehingga memungkinkan rakawi-rakawi meluangkan waktu untuk menulis karya sastra.
Seni Susastra pada masa kerajaan Panjalu sangatlah subur. Bahkan setelah
kerajaan ini runtuh, tokoh-tokoh kerajaan pun masih dikenang dan termasyur
namanya sampai ke mancanegara. Contoh konkrit adalah cerita panji dengan latar
belakang seputar kerajaan Panjalu dan Jenggala. Pada masa ini banyak terlahir karya-karya susastra besar,
seperti kitab Smaradahana gubahan mpu Dharmaja, Bharatayuddha gubahan mpu Sedah
(1157M) dan diteruskan mpu Panuluh yang juga membuat kitab Hariwangca dan
Gatotkacacraya. Ada beberapa lagi yang terkenal : Lubdhaka dan Wrtasancaya buah
tangan mpu Tanakung, Kresnayana karangan mpu Triguna dan Sumanasantaka karangan
mpu Monaguna (Soekmono, 1973: 58).
Dari aspek pemerintahan dan kemasyarakatan dimasa
kerajaan Panjalu adalah di temukannya sistem pemerintahan yang tersruktur dari
Raja sampai para penguasa Dawuhan dan
Thani. Sistem masyarakat yang agraris
diberitakan dalam berbagai prasasti sebagai contoh adalah Prasasti Pandelegan I
(1038C/1117M) ), prasasti Panumbangan (1042C/1120M), prasasti Talan (1058C/1136M,
Prasasti Lawadan(1127C/1205M) dan beberapa prasasti pada masa Panjalu
kebanyakan memuat penetapan daerah sima terhadap dawuhan-dawuhan yang mengatur
sawah dan kehidupan pertaniannya.
Kesimpulan
Keadaan alam Bumi Kadiri sangatlah subur dan cocok untuk
pendirian sebuah pusat peradaban, karena memenuhi aspek cosmologi masyarakat
pada masa kerajaan Panjalu yang menyeimbangankan lima unsur kehidupan. Unsur air
diwakili oleh keberadaan Sungai Brantas dan anak-anak sungainya, unsur api yang
diwakili oleh keberadaan gunung Kamput, unsur udara yang tidak terlalu kering
dan basah, unsur tanah yang subur dan akhirnya menimbulkan ruh dalam kehidupan
masyarakat pendukung pada Kerajaan
Panjalu di Bumi Kadiri.
Perkembangan Kerajaan Panjalu di Bumi Kadiri merupakan
hasil dari hubungan timbal-balik antara masyarakat pendukung kebudayaan Panjalu
dengan alam lingkungan. Kerajaan Panjalu yang mayoritas masyarakatnya bermata
pencaharian sebagai petani, menjadikan aspek agraris sangat penting bagi
eksistensi Kerajaan. Oleh karena itu banyak prasasti-prasasti yang dikeluarkan
Raja memuat penetapan sima untuk kepentingan religi dan sekaligus perawatan
dawuhan dan lahan pertanian. Pengaruh keberadaan Gunung Kamput terhadap
Kerajaan Panjalu di Bumi Kadiri adalah respons positif dan kretiaf masyarakat
pendukung kebudayaan Panjalu. Dimana gunung Kamput yang memiliki potensi bahaya
besar akibat letusannya, namun oleh masyarakat di Bumi Kadiri ditanggapi dengan
cara memanfaatkan alam yang subur dengan melakukan aktifitas pertanian. Tentang
letusan yang membahayakan masyarakat dan pemerintahan menaggulanginya dengan
pembuatan beberapa Candi pemujaan terhadap Dewa Gunung, salah satu contohnya
adalah Candi Palah (Penataran). Selain Gunung Kamput mempengaruhi dan
menguatkan aspek religi masyarakat Hindu-Budha pada masa Kerajaan Panjalu, juga
mempengaruhi aspek lain seperti aspek ekonomi, tekhnologi, seni dan juga aspek
pemerintahan.
Kerajaan Panjalu yang
didirikan pada masa Raja Airlangga akhirnya runtuh karena serangan Ken Arok
dari Kerajaan Tumapel(1222M) dan lambat laun bukti-bukti peninggalan kerajaan
Panjalu tersimpan dibawah lapisan-lapisan tanah vulkanis akibat letusan Gunung
Kamput secara periodik. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya beberapa
situs peninggalan pada masa kerajaan Panjalu seperti Candi Gurah, situs Candi
Tondowongso, dan beberapa situs dari masa Panjalu sampai kerajaan Majapahit
yang tertimbun material-material vulkanis dari letusan gunung Kamput secara
periodik.
Daftar Rujukan:
A. Sumber Arsip
Laporan
Penindjauan Menteri Dalam Negeri, Basoeki Rachmat Tentang Bentjana Alam Gunung
Kelud, tanggal 2 Mei 1966 ( Koleksi arsip Ekonomi dan Pembangunan No. 573)
B. Sumber Buku
Daldjoeni. 1992. Geografi Kesejarahan II Indonesia. Bandung: Alumni
Muljana, Slamet. 2006. Tafsir Sejarah Negara Kertagama. Yogyakarta: LKiS
Mustopo, Habib. 2002.
Kali Brantas Kilas Balik Sejarah
Pengendaliannya. Malang: Malang’s Cultural Haritage Society
Pigeaud. 1960. The Negarakertagama by Rakawi Prapanca of
Majapahit, 1365 A.D. Leyden: …
Soekmono. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Soekmono. 1998. “Gurah, The Link Between The Central And The
East-Javanese Arts”, Bulletin of the Archaeological Institute of the Republic of Indonesia. Jakarta: Berita Lembaga Purbakala dan
Peninggalan Nasional.
Wirjosuparto, Sutjipto. Tanpa Tahun. Apa Sebabnya Kediri Dan Daerah Sekitarnya Tampil Kemuka
Dalam Sejarah. Djakarta: UI Press)
C. Sumber Internet
Dinas Pemasaran
Kabupaten Kediri.
2007. Sejarah Gunung Kelut . (online) (www.kediri.go.id, diakses 04 September 2008)